Mukminah yang senantiasa sadar
Seseorang yang beriman kepada Alloh ‘Azza wa Jalla akan memiliki kepekaan yang muncul dari keimanannya kepada Alloh ‘Azza wa Jalla. Satu hal yang membedakan wanita muslimah adalah imannya yang mendalam kepada Alloh ‘Azza wa Jalla dan keyakinannya bahwa apapun peristiwa yang terjadi di alam ataupun pada diri manusia, semuanya karena qadha' dan takdir Alloh ‘Azza wa Jalla. Tentunya keyakinan seperti ini akan melahirkan suatu sikap yang benar, yaitu sebuah keyakinan bahwa semua musibah yang menimpa manusia bukan dimaksudkan untuk mencelakakan manusia.
Semua kejadian dan musibah yang terjadi atas pengetahuan dan izin dari Alloh ‘Azza wa Jalla. Kewajiban manusia adalah berusaha meniti jalan kebaikan/kebenaran, mencari faktor-faktor yang dapat mendatangkan amal shalih, bertawakkal dan menyerahkan seluruh urusan kepadaNya.
Kisah Hajar, sebuah kisah mengenai keyakinan seorang wanita yang teguh dalam keimanannya. Kisah Hajar, istri Nabi Ibrahim dan ibunda Ismail. Ia pernah ditinggalkan di Mekkah (dekat Baitullah) dan pada saat itu lembah tersebut tidak ada orang, tidak ada tanaman dan juga tidak ada air. Ia hanya ditemani oleh putranya yang masih bayi dan masih menyusu, Ismail dan juga satu kantong kurma dan satu wadah kulit yang berisi air. Hajar bertanya kepada Nabi Ibrahim “Alloh-kah yang menyuruh engkau berbuat seperti ini wahai Ibrahim?”. Ibrahim menjawab “Benar”, Hajar berkata “Kalau begitu ia tidak akan menyia-nyiakan kami”. Coba kita simak ketika Hajar mengetahui bahwa tindakan yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim merupakan perintah dari Alloh, dan ia sangat yakin bahwa Alloh ‘Azza wa Jalla tidak akan mencelakakan dirinya bahkan akan memberikan perlindungan kepadanya. Kisah keteguhan Hajar ini dikenang terus oleh seluruh manusia ketika melakukan ibadah haji dan umrah, yaitu pada saat sa'i dari shafa ke marwa sebanyak 7 kali.
Lihatlah keyakinan Hajar terhadap keputusan dan perintah Alloh ‘Azza wa Jalla. Ia menerima apa yang diperintahkan oleh Alloh ‘Azza wa Jalla. Ketika mendengar perintah dari Alloh ia langsung menerima, tunduk dan taat terhadap perintah Alloh tersebut, sami'na wa ato'na, tanpa ada keraguan sedikit pun. Perintah yang Alloh ‘Azza wa Jalla berikan kepada Hajar sangatlah berat. Bayangkan saja, Ia ditinggalkan di sebuah lembah kering, tandus, tak berpenghuni seorang diri bersama bayinya. Jika hal ini terjadi kepada kita, sangatlah sulit bertahan dalam kondisi seperti itu. Lihatlah perintah Alloh ‘Azza wa Jalla kepada wanita muslimah di zaman sekarang. Tidak sesulit apa yang diperintahkan kepada Hajar. Apakah kita masih tetap enggan untuk melaksanakan perintahNya??.
Terdapat sebuah kisah lagi berkaitan dengan keteguhan iman seorang wanita. Kisah ini berasal dari Abdullah bin Zaid bin Aslam, dari ayahnya dari kakeknya. Seorang wanita yang tidak mau mencampur susu (barang dagangannya) dengan air, karena perbuatan tersebut adalah tercela dan Amirul-Mukminin (Umar bin Khattab) mengumumkan keputusan tidak boleh mencampur susu dengan air. Ia tidak mau menaatinya di saat ramai dan mendurhakainya di saat sepi, padahal yang memerintahkannya untuk mencampur susu adalah ibunya sendiri. Namun ia tetap pada pendiriannya. Ternyata Umar mendengar percakapan kedua wanita ini, kemudian khalifah menyuruh Aslam untuk menyelidiki mereka berdua. Aslam melaporkan bahwa wanita yang tidak mau mencampurkan susu dengan air itu adalah seorang gadis dan yang berbicara dengannya adalah ibunya. Maka Umar memanggil anaknya dan menawarkan kepada mereka siapa diantara mereka yang mau memperistri gadis ini. Akhirnya Ashim lah yang bersedia memperistri gadis tersebut karena memang dia belum beristri. Lalu Umar mengirim utusan dan menikahlah mereka, dari pernikahan mereka lahirlah seorang putri dan dari putri ini lahirlah Umar bin Abdul Aziz. Yang merupakan cicit dari Umar bin Khattab.
Dari kisah ini kita dapat melihat bagaimana teguhnya keyakinan seorang gadis. Ia tidak mau menuruti perintah ibunya karena memang perintah sang ibu tidak patut untuk ditaati yaitu mancampur susu dengan air.
Imam Ibnu Qoyyim pernah menyatakan bahwa syariat Islam dibangun di atas kemaslahatan bagi diri orang yang mengamalkannya dan bersifat abadi, dapat dilaksanakan olah siapa saja dan kapan saja.
Terkadang dalam menjalankan syariat kita tidak perlu lebih jauh mengetahui faktor-faktor penyebab mengapa suatu syariat diperintah oleh Alloh ‘Azza wa Jalla. Namun ketaatan-lah yang diperlukan dalam menjalankan syariat. Para sahabat ketika suatu syariat diturunkan dan diperintahkan untuk dijalankan tidak pernah mempermasalahkan kenapa syariat tersebut diturunkan, namun yang mereka tanyakan adalah bagaimana cara melaksanakan syariat tersebut. Maka demikian pula hendaknya dengan kita.
Akidah wanita muslimah yang ditegakkan diatas keimanan kepada Alloh ‘Azza wa Jalla akan selalu lurus, bersih dan suci dan tidak akan terlumuri kebodohan, khurafat dan keraguan. Firman Alloh ‘Azza wa Jalla, yang artinya: “Katakanlah 'Siapakah yang ditanganNya berada kekuasaan atas segala sesuatu, sedang Dia melindungi, tetapi tidak ada yang dapat melindungi dari (adzab)Nya jika kalian mengetahui?' Mereka akan menjawab 'Kepunyaan Alloh'. Katakanlah '(kalau demikian) maka dari jalan manakah kalian ditipu?' “ (QS: Al-Mukminun: 88-89)
Wanita muslimah akan melihat hakikat kehidupan sebagai tempat ujian dan menentukan pilihan. “Katakanlah 'Allohlah yang menghidupkan kalian kemudian mematikan kalian, setelah itu mengumpulkan kalian pada hari kiamat yang tidak ada keraguan padanya, akan tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui'”
“Maka apakah kalian mengira, bahwa sesungguhnya Kami menciptakan kalian secara main-main (saja), dan bahwa kalian tidak akan dikembalikan kepada Kami?” (QS: Al-Mukminun: 115)
“Mahasuci Alloh yang di Tangan-Nyalah segala kerajaan, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu, yang menjadikannya mati dan hidup supayaDia menguji kalian, siapa diantara kalian yang lebih baik amalnya. Dan, Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun” (QS: Al-Mulk: 1-2)
Wanita muslimah juga sangat yakin bahwa segala amal yang dilakukannya akan dibalas di akhirat nanti. Timbangan hisab di hari akhir nanti benar-benar teliti dan tidak lolos dari perhatian Alloh walaupun sebesar biji sawi.
“Kami akan memasang timbangan yang tepat pada hari kiamat, maka tiadalah dirugikan seseorang barang sedikitpun. Dan jika (amalan itu) hanya seberat biji sawi pun pasti Kami mendatangkan (pahala)nya. Dan cukuplah Kami menjadi orang-orang yang membuat perhitungan” (QS: Al-Anbiya': 47)
Ditulis Oleh Suparlin Abdurrohman
Sumber : Media Muslim Info
Semua kejadian dan musibah yang terjadi atas pengetahuan dan izin dari Alloh ‘Azza wa Jalla. Kewajiban manusia adalah berusaha meniti jalan kebaikan/kebenaran, mencari faktor-faktor yang dapat mendatangkan amal shalih, bertawakkal dan menyerahkan seluruh urusan kepadaNya.
Kisah Hajar, sebuah kisah mengenai keyakinan seorang wanita yang teguh dalam keimanannya. Kisah Hajar, istri Nabi Ibrahim dan ibunda Ismail. Ia pernah ditinggalkan di Mekkah (dekat Baitullah) dan pada saat itu lembah tersebut tidak ada orang, tidak ada tanaman dan juga tidak ada air. Ia hanya ditemani oleh putranya yang masih bayi dan masih menyusu, Ismail dan juga satu kantong kurma dan satu wadah kulit yang berisi air. Hajar bertanya kepada Nabi Ibrahim “Alloh-kah yang menyuruh engkau berbuat seperti ini wahai Ibrahim?”. Ibrahim menjawab “Benar”, Hajar berkata “Kalau begitu ia tidak akan menyia-nyiakan kami”. Coba kita simak ketika Hajar mengetahui bahwa tindakan yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim merupakan perintah dari Alloh, dan ia sangat yakin bahwa Alloh ‘Azza wa Jalla tidak akan mencelakakan dirinya bahkan akan memberikan perlindungan kepadanya. Kisah keteguhan Hajar ini dikenang terus oleh seluruh manusia ketika melakukan ibadah haji dan umrah, yaitu pada saat sa'i dari shafa ke marwa sebanyak 7 kali.
Lihatlah keyakinan Hajar terhadap keputusan dan perintah Alloh ‘Azza wa Jalla. Ia menerima apa yang diperintahkan oleh Alloh ‘Azza wa Jalla. Ketika mendengar perintah dari Alloh ia langsung menerima, tunduk dan taat terhadap perintah Alloh tersebut, sami'na wa ato'na, tanpa ada keraguan sedikit pun. Perintah yang Alloh ‘Azza wa Jalla berikan kepada Hajar sangatlah berat. Bayangkan saja, Ia ditinggalkan di sebuah lembah kering, tandus, tak berpenghuni seorang diri bersama bayinya. Jika hal ini terjadi kepada kita, sangatlah sulit bertahan dalam kondisi seperti itu. Lihatlah perintah Alloh ‘Azza wa Jalla kepada wanita muslimah di zaman sekarang. Tidak sesulit apa yang diperintahkan kepada Hajar. Apakah kita masih tetap enggan untuk melaksanakan perintahNya??.
Terdapat sebuah kisah lagi berkaitan dengan keteguhan iman seorang wanita. Kisah ini berasal dari Abdullah bin Zaid bin Aslam, dari ayahnya dari kakeknya. Seorang wanita yang tidak mau mencampur susu (barang dagangannya) dengan air, karena perbuatan tersebut adalah tercela dan Amirul-Mukminin (Umar bin Khattab) mengumumkan keputusan tidak boleh mencampur susu dengan air. Ia tidak mau menaatinya di saat ramai dan mendurhakainya di saat sepi, padahal yang memerintahkannya untuk mencampur susu adalah ibunya sendiri. Namun ia tetap pada pendiriannya. Ternyata Umar mendengar percakapan kedua wanita ini, kemudian khalifah menyuruh Aslam untuk menyelidiki mereka berdua. Aslam melaporkan bahwa wanita yang tidak mau mencampurkan susu dengan air itu adalah seorang gadis dan yang berbicara dengannya adalah ibunya. Maka Umar memanggil anaknya dan menawarkan kepada mereka siapa diantara mereka yang mau memperistri gadis ini. Akhirnya Ashim lah yang bersedia memperistri gadis tersebut karena memang dia belum beristri. Lalu Umar mengirim utusan dan menikahlah mereka, dari pernikahan mereka lahirlah seorang putri dan dari putri ini lahirlah Umar bin Abdul Aziz. Yang merupakan cicit dari Umar bin Khattab.
Dari kisah ini kita dapat melihat bagaimana teguhnya keyakinan seorang gadis. Ia tidak mau menuruti perintah ibunya karena memang perintah sang ibu tidak patut untuk ditaati yaitu mancampur susu dengan air.
Imam Ibnu Qoyyim pernah menyatakan bahwa syariat Islam dibangun di atas kemaslahatan bagi diri orang yang mengamalkannya dan bersifat abadi, dapat dilaksanakan olah siapa saja dan kapan saja.
Terkadang dalam menjalankan syariat kita tidak perlu lebih jauh mengetahui faktor-faktor penyebab mengapa suatu syariat diperintah oleh Alloh ‘Azza wa Jalla. Namun ketaatan-lah yang diperlukan dalam menjalankan syariat. Para sahabat ketika suatu syariat diturunkan dan diperintahkan untuk dijalankan tidak pernah mempermasalahkan kenapa syariat tersebut diturunkan, namun yang mereka tanyakan adalah bagaimana cara melaksanakan syariat tersebut. Maka demikian pula hendaknya dengan kita.
Akidah wanita muslimah yang ditegakkan diatas keimanan kepada Alloh ‘Azza wa Jalla akan selalu lurus, bersih dan suci dan tidak akan terlumuri kebodohan, khurafat dan keraguan. Firman Alloh ‘Azza wa Jalla, yang artinya: “Katakanlah 'Siapakah yang ditanganNya berada kekuasaan atas segala sesuatu, sedang Dia melindungi, tetapi tidak ada yang dapat melindungi dari (adzab)Nya jika kalian mengetahui?' Mereka akan menjawab 'Kepunyaan Alloh'. Katakanlah '(kalau demikian) maka dari jalan manakah kalian ditipu?' “ (QS: Al-Mukminun: 88-89)
Wanita muslimah akan melihat hakikat kehidupan sebagai tempat ujian dan menentukan pilihan. “Katakanlah 'Allohlah yang menghidupkan kalian kemudian mematikan kalian, setelah itu mengumpulkan kalian pada hari kiamat yang tidak ada keraguan padanya, akan tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui'”
“Maka apakah kalian mengira, bahwa sesungguhnya Kami menciptakan kalian secara main-main (saja), dan bahwa kalian tidak akan dikembalikan kepada Kami?” (QS: Al-Mukminun: 115)
“Mahasuci Alloh yang di Tangan-Nyalah segala kerajaan, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu, yang menjadikannya mati dan hidup supayaDia menguji kalian, siapa diantara kalian yang lebih baik amalnya. Dan, Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun” (QS: Al-Mulk: 1-2)
Wanita muslimah juga sangat yakin bahwa segala amal yang dilakukannya akan dibalas di akhirat nanti. Timbangan hisab di hari akhir nanti benar-benar teliti dan tidak lolos dari perhatian Alloh walaupun sebesar biji sawi.
“Kami akan memasang timbangan yang tepat pada hari kiamat, maka tiadalah dirugikan seseorang barang sedikitpun. Dan jika (amalan itu) hanya seberat biji sawi pun pasti Kami mendatangkan (pahala)nya. Dan cukuplah Kami menjadi orang-orang yang membuat perhitungan” (QS: Al-Anbiya': 47)
Ditulis Oleh Suparlin Abdurrohman
Sumber : Media Muslim Info
0 Comments:
Post a Comment
<< Home