Moga Menjadi Manfaat

Berharap menjadi Hamba-Nya yang terus menebar kebaikan... Menebar manfaat dan Ilmu... Semoga bisa menjadi amal baik tuk di akhirat nanti... Amin...

Monday, October 02, 2006

Masa Memberontak di Usia Dua Tahun (bag I)

(Oleh: Yayoi Watanabe, dosen Jurusan Psikologi Fakultas Sastra Universitas Hosei
Tulisan asli dimuat di leaflet bulanan Kodomo o Manabu, Penerbit Benesse, Edisi April 2006, diterjemahkan oleh Andini, tim Artikel PPA-Fahima)


Masa memberontak identik dengan istilah susah diatur, keras kepala, dll yang memberikan imej negatif. Tetapi, perasaan ingin menyatakan yang mulai tumbuh pada masa inilah yang sebenarnya merupakan langkah awal yang penting bagi kemampuan mengekspresikan diri. “Masa memberontak merupakan tahap awal untuk menumbuhkan kemampuan berinteraksi dengan orang lain.

Masa Memberontak Juga Bukti Kepercayaan Anak Pada Orang Tua

Selama ini anak saya penurut, tetapi sejak usia 2 tahun jawabannya selalu tidak mau, sudah repot-repot dipakaikan baju malah ngotot mau dibuka lagi dan pakai sendiri...

Jangan-jangan masa memberontak? begitu tanya banyak orang tua yang pasang ancang-ancang untuk bertempur dengan anak. Tetapi, tindakan-tindakan sejenis yang terlihat seperti melawan orang tua ini, merupakan bukti pertumbuhan jiwa dan tubuhnya, juga bukti tumbuhnya kesadaran akan diri sendiri. Jadi jika dilihat dari segi pertumbuhan anak, masa ini bukan masa negatif malah hal yang menggembirakan.

Di dalam diri anak, kesadaran akan diri sendiri mulai tumbuh sekitar usia 2-3 tahun. Pada masa ini, anak sudah bisa mengendalikan gerakan sesuai keinginannya sendiri, seperti berlari, naik tangga, melompat, dan sebagainya. Jika dipanggil namanya ia sudah bisa menjawab, sebagai bukti bahwa telah muncul kesadaran adanya aku. Ia juga mulai sadar bahwa tindakannya mendapatkan penilaian dari sekitar, bisa pujian atau larangan. Kesadaran bahwa “aku berbeda dengan orang lainini menyebabkan munculnya perasaan “aku ingin melakukan ini.

Perasaan ingin menyatakan keinginan kepada orang-orang yang dipercayai inilah yang disebut masa memberontak.

Adanya masa memberontak adalah salah satu bukti terjalinnya kepercayaan anak terhadap orang-orang di rumah.

Rewel dan Tidak Mau Karena Anak Belum Bisa Menyatakan Perasaan Dengan Kata-kata.

Jika Orang Dewasa Mengajarkan Cara Berekspresi, Ledakan Emosi Anak Akan Berkurang

Anak-anak pada masa ini belum bisa menyatakan perasaannya melalui lisan, juga belum bisa menyampaikan keinginannya kepada lawan bicara dengan cara yang mudah dimengerti. Oleh karena itu, tanggapannya terhadap segala pertanyaan adalah diawali dengan tidak mau. Perasaan yang pada orang dewasa dapat dengan mudah dinyatakan sebagai rasa sebal, “bad mood, kesal, bagi anak dirasakan sebagai perasaan tidak nyaman yang bagi diri si anak pun tidak betul-betul dipahaminya. Maka jika ia dimarahi atau ada peristiwa yang tidak sesuai keinginannya, ledakan emosinya muncul sebagai tangisan keras atau kerewelan. Bagi orang tua, mungkin anak terlihat sedang melawan, tetapi sebenarnya anak tidak berpikir ingin melawan, ia hanya tidak tahu bagaimana cara menyatakan perasaannya.

Lagipula kemampuan untuk memberitahukan perasaan kepada orang lain bukan kemampuan manusia yang sudah ada sejak lahir, tetapi merupakan skill atau keahlian yang didapatkan kemudian. Seperti halnya kebiasaan antri dan mematuhi aturan, kemampuan berkomunikasi ini harus diajarkan dulu oleh orang-orang dewasa di sekitar, baru kemudian dipelajari dan diterapkan oleh anak. Maka saat ini, yaitu saat anak mulai ingin menyatakan sesuatu, adalah kesempatan emas untuk memupuk kemampuan mengekspresikan diri.

Pertama-tama, coba hadapi anak bukan dengan perasaan anak ini melawan, maka saya harus menekannya, tetapi “anak ini tidak mengerti, maka saya harus mengajarkannya. Jika anak mampu menyatakan perasaannya dengan kata-kata, ledakan emosinya pasti berkurang.

Ekspresi Diri Adalah Kemampuan Wajib Untuk Hidup Bermasyarakat.

Kemampuan ekspresi diri tidak hanya diperlukan pada masa kecil. Selama ini, dalam budaya Jepang, ada kebiasaan untuk tidak menyatakan perasaan secara langsung. Ada anggapan bahwa tidak usah dibicarakan juga sudah mengerti adalah hal yang baik. Tetapi dengan berjalannya proses globalisasi, nilai-nilai yang dianut individu pun semakin beragam. Agar dapat hidup berdampingan dengan orang-orang yang berbeda prinsip, maka kita tidak boleh ngotot menganut paham tidak usah dibicarakan juga harus mengerti, tetapi harus saling menyampaikan perasaan, mengakui adanya perbedaan, dan saling menunjukkan pengertian. Menyatakan perasaan erat kaitannya dengan mendengarkan baik-baik kata-kata orang lain. Kemudian dari situ, kita menyadari perbedaan dengan orang lain, dan lahirlah kemampuan untuk mengatasi masalah yang timbul dari perbedaan tersebut. Kemampuan ini adalah kemampuan yang wajib dimiliki oleh anak dalam hidup bermasyarakat kelak.

Belakangan ini di SD dan SMP dimasukkan pula program kurikulum untuk memupuk kemampuan mengekspresikan diri dan perasaan kasih kepada orang lain. Tetapi yang paling penting tentu saja upaya dari orang-orang terdekat di rumah tangga. Orang dewasa di rumah harus mengajarkan kemampuan yang penting untuk masa kanak-kanak di masa kanak-kanak, dan kemampuan penting untuk masa pubertas di masa pubertas. Misalnya, jika anak tumbuh sedikit lagi, mau tidak mau anak akan berhadapan dengan masalah bermusuhan dengan temannya. Orang tua tidak boleh hanya mengatakan, Besok baikan lagi ya. Tugas orang tua adalah mengajarkan kemampuan ini secara kongkret, misalnya, Besok pagi ketika kamu pergi ke taman, cepat-cepat cari temanmu itu, lalu katakan "maaf ya". Dengan mengulang-ulang pengajaran seperti ini, kelak akan menumbuhkan kemampuan mengekspresikan diri, yang selanjutnya bertalian dengan kemampuan mengasihi orang lain dan menyelesaikan masalah pada diri anak.

Apa yang bisa dilakukan orang tua pada masa genting ini? Insyaa Allah akan dibahas pada kali berikutnya... Bersambung :-)
Sumber : fahima

0 Comments:

Post a Comment

<< Home