Moga Menjadi Manfaat

Berharap menjadi Hamba-Nya yang terus menebar kebaikan... Menebar manfaat dan Ilmu... Semoga bisa menjadi amal baik tuk di akhirat nanti... Amin...

Sunday, December 10, 2006

BERTENGKAR DI DEPAN ANAK? BOLEH ASAL...

Mungkin pernyataan ini membuat Anda kaget. Kok, boleh bertengkar di depan anak? Ya, boleh, kok. Tapi, tentu saja, dengan sejumlah catatan. Boleh saja orang tua berselisih paham atau berbeda pendapat di depan anak. Justru anak jadi paham dan dapat memetik pelajaran, bahwa berbeda pendapat merupakan hal wajar dan bisa dicarikan jalan keluarnya. Coba saja pikir, bagaimana mereka akan pernah belajar bernegosiasi dan berdebat yang benar jika tidak ada seorang pun yang pernah mengajarkannya?Ingat, ayah dan ibu adalah contoh bagi anak-anak. Termasuk model untuk bagaimana bertingkah laku dalam kehidupan. Jadi, bersikaplah sebagai contoh model yang baik, termasuk saat Anda berdua tengah berselisih. Caranya? Simak tips berikut.

1. Berlaku sopan
Jangan pernah berdebat atau berselisih yang diakhiri dengan menyakiti salah seorang (terutama di depan anak-anak). Jangan pernah mengecilkan/meremehkan pasangan.

2. Tenang
Berteriak, saling memaki, bicara dengan nada tinggi, jelas berbeda dengan berdiskusi. Itu berarti menekan atau memaksa orang lain untuk mendengarkan Anda. Suara yang tenang akan selalu lebih efektif dalam berdebat, karena akan membuat lawan bicara mau mendengarkan.

3. Tetap berteman
Perlihatkan pada anak-anak bagaimana cara bernegosiasi yang efektif dan "tetap menjadi teman" jika semua masalah telah dibicarakan dan selesai. Pada akhir perselisihan, kedua belah pihak harus berlapang dada dan tetap saling menghargai, menerima, dan mencintai.

4. Bukan musuh
Ingat Anda bukan merupakan musuh dari orang di dalam konflik yang terjadi. Anda hanya mempunyai ide yang berbeda untuk mencapai sesuatu kesepakatan. Lihatlah pada tujuannya secara umum dan bagaimana cara terbaik untuk menyatukan suatu argumen kendati berbeda jalan. Nah, bukankah hal ini merupakan suatu keahlian, keterampilan yang baik yang patut diajarkan kepada anak-anak?

5. Tidak menyangkut mereka
Jangan pernah berselisih di depan anak-anak dengan topik perselisihan yang menyangkut perilaku anak-anak itu sendiri. Saat untuk memberi pelajaran yang baik dapat menjadi hancur berantakan jika anak mulai menjadi takut karena mendengar komentar pribadi Anda dan pasangan mengenai diri mereka.

6. Menerima kekalahan
Ajarari anak bagaimana cara menerima kekalahan dengan anggun, lapang dada. Jadilah seorang yang sportif dan bukan pendendam. Merasa kecewa adalah hal yang wajar dan ada cara yang baik untuk melihatkan hal ini. Kemudian belajar atau bangkitlah untuk menghilangkan perasaan tersudut, kalah, dan lainnya. Perlihatkan pada si kecil, semua itu merupakan suatu pelajaran terbaik dalam kehidupan!

7. Jadilah diri sendiri
Tapi jangan berlebihan. Memang, memiliki pendapat merupakan sesuatu yang oke sehingga anak tahu, ada sesuatu hal dalam kehidupan yang penting dan harus kita pertahankan. Tapi usahakan untuk tidak berlarut-larut. Biarkan berlalu jika sudah berlalu dan tunjukkan pada anak, bagaimana proses dari semua itu.

8. Berhati besar
Ketika konflik sudah bisa diatasi dan "persetujuan" disepakati, terima semua itu dengan besar hati. Dengan kata lain, jangan mengungkit-ungkit kembali masalah selama seminggu terus-menerus, misalnya. Perlihatkan pada anak, berselisih paham atau berbeda pendapat adalah sesuatu yang wajar dan bisa dicarikan jalan keluarnya untuk kemudian hidup rukun lagi. Nah, dari hal-hal tersebut d atas, anak akan belajar, jika dua orang saling menghargai, berargumen secara sehat, segala perselisihan atau perdebatan bisa dislesaikan dengan baik lewat negosiasi. Anak pun belajar untuk melihat dan menghargai pandangan atau ide orang lain, menghormati bahwa orang lain mungkin memiliki pendapat yang berbeda tapi kemudian bisa mendapat kata sepakat. Sudah siap untuk bertengkar sehat di depan buah hati tercinta?

Sumber : Nova

HUBUNGAN URUTAN LAHIR & TABIAT

Anak sulung, kedua, atau bungsu hanyalah sebuah julukan dalam suatu keluarga. Yang jelas, dalam ilmu psikologi disebutkan, urutan kelahiran mempunyai dampak dari berbagai aspek pada tabiat seorang anak. Tentu saja ciri-ciri tersebut tidak selalu pasti begitu karena dalam beberapa hal ada banyak pengecualian yang dapat membuat sifat-sifat tersebut saling bertukaran.

Anak Sulung
Terlahir sebagai pemimpin secara alami. Mereka cenderung menjadi perfeksionis, dapat dipercaya, dan penuh perhatian. Mereka tidak terlalu menampakkan suatu reaksi ketika terkejut dan bisa mendadak menjadi agresif. Bagaimanapun juga, mereka adalah anak yang menyenangkan. Anak pertama biasanya mempunyai keinginan yang amat sangat kuat untuk dimengerti.

Anak Tunggal
Sebetulnya hampir sama dengan si sulung, walaupun karakter anak tunggal biasanya serba 3 kali lipat dari anak pertama. Mereka lebih perfeksionis, lebih bertanggung jawab, dan cenderung lebih dapat beradaptasi dengan orang yang lebih tua.

Anak Tengah
Konon merupakan anak yang paling susah dibentuk. Mereka sangat berlawanan dengan saudara kandung lainnya. Mereka biasanya senang dianggap sama dengan kakak-kakaknya dibandingkan dengan adik-adiknya. Mereka cenderung menutup diri dan tidak mudah mengungkapkan emosinya. Karena mereka merasa kuat walau hal itu tidak dipedulikan keluarganya, hubungan mereka dengan anak sebaya lebih kuat, bisa membaca pikiran orang, dan menyukai ketenangan.

Anak Bungsu
Cenderung menjadi anak yang ramah dan sangat menyenangkan. Mereka tidak terlalu peduli dengan masalah finansial karena bagi mereka dengan mendapat kesenangan, sudah cukup. Anak bungsu biasanya sangat menawan tapi bisa menjadi manipulatif dan manja.

Sumber : Nova

OBESITAS & 3 KESALAHAN ORANG TUA

Namanya saja orang tua, tentu maunya memberi hanya yang terbaik bagi buah hati. Celakanya, meski sudah paham betul mengenai pentingnya makanan bergizi dan olah raga, tetap saja banyak orang tua yang tidak tahu, apa yang harus mereka lakukan. Alhasil, tubuh si kecil jadi "kelewat" sehat dan bahkan mengalami obesitas. Apa saja kesalahan orangtua, dan bagaimana memperbaikinya?

KESALAHAN
1: "DIA ENGGAK GEMUK, KOK!"
Ini merupakan pernyataan yang cenderung berkesan menyangkal. Banyak orang tua tidak mau jujur terhadap diri sendiri mengenai berat badan anaknya. Mereka menutup mata terhadap masalah yang dihadapi anak. Padahal, obesitas dapat menurunkan rasa percaya diri anak.Yang harus dilakukan: Cari tahu berat badan yang ideal untuk anak Anda. Bandingkan antara bobot si kecil saat ini dengan yang seharusnya. Lakukan konsultasi dengan dokter atau ahli gizi. *

2."DULU SAYA JUGA BEGITU"
Ingat, lo, penelitian membuktikan, anak-anak yang mengalami obesitas, saat dewasa juga menjadi obesitas. Pada kenyataannya, tidak ada anak yang mau menjadi gemuk.Yang harus dilakukan:Tak perlu menyuruh anak melakukan diet ketat, tetapi Anda perlu memberi dan menyuruh anak mengonsumsi makanan bergizi serta melakukan olah raga yang dapat membantu mereka tumbuh dengan sehat. Menurunkan berat badan tidak dapat dilakukan dalam sekejap. Mengubah kebiasaan dan gaya hidup seseorang ataupun suatu keluarga tidaklah mudah, terutama bila perasaan anak yang obesitas dipertaruhkan. Orang tua harus menyusun rencara dan harus tekun serta kerja keras.Berita baiknya adalah bahwa masa yang paling mudah untuk memonitor anak-anak tersebut adalah antara usia 4 - 12 tahun yaitu masa di mana mereka tumbuh dan kegiatan serta pola makan mereka masih tergantung dari orang tuanya.

3. "SUDAH DICOBA BERBAGAI CARA" Banyak orangtua yang mudah menyerah. Mereka mencoba sesuatu tetapi biasanya bukan sesuatu yang tepat dan benar. Lalu mereka menyerah.Yang harus dilakukan:Rahasianya adalah Anda harus melakukannya dengan cara yang benar dan harus komit untuk berhasil. Anda harus sadar betul, Andalah satu-satunya yang berperan demi berhasilnya rencana dan Anda harus mengerahkan seluruh anggota keluarga demi keberhasilan si kecil. Yang pasti, Anda dapat memiliki anak yang sehat bila memutuskan untuk menempatkan usaha tersebut sebagai prioritas utama.

Sumber : Nova

8 KIAT MENANAMKAN DISIPLIN

1. Belajar mengatakan "tidak" secara tegas tapi dengan sabar, penuh kasih sayang, berwibawa, dan tanpa nada marah. Kemampuan ini akan menolong Anda dalam mendidik anak sehingga mereka mengetahui, ada batasan dalam berbuat sesuatu.

2. Selalu bersikap konsisten. Jika Anda telah mengatakan akan ada tindakan akibat dari perilakunya yang salah, terapkan "hukuman" tersebut sehingga anak tidak akan pernah mencoba untuk memainkan Anda. Sikap yang tidak konsisten akan menghancurkan aturan dan disiplin.

3. Fokus dan targetkan satu atau dua perilaku yang harus ditaati dengan baik pada waktu yang bersamaan. Misalnya, makan harus dihabiskan, makanan jangan dibuat mainan. Umumnya akan lebih efektif untuk mengajarkan anak pada satu atau dua bidang yang terfokus daripada mencoba untuk mengajarkannya sedikit-sedikit tapi dengan berbagai macam bidang yang berbeda-beda.

4. Berlakulah seperti "bos" dan jangan malu untuk menjadi bos dalam membina hubungan dengan anak. Jika tidak, anak cenderung bertindak semaunya bagaikan anak ayam kehilangan induk dan akhirnya akan berperilaku negatif. Anda dapat mengatakan pada anak bahwa Anda adalah "bos" mereka. Tentu saja sebagai bos Anda tidak bertindak otoriter dan semena-mena.

5. Ajarkan anak berdisplin dalam lingkungan yang penuh kasih sayang dan cinta kasih.

6. Berikan anak pilihan-pilihan kecil semisal baju apa yang ia sukai, mau wortel atau kacang polong. Setelah menentukan pilihan, anak harus konsisten dengan pilihannya tersebut.

7. Ingat disiplin yang konsisten merupakan hal yang aman dan baik. Kepatuhan anak merupakan salah satu jaminan agar ia selamat dari bahaya. Waktu yang terbaik untuk menyiapkan diri dalam keadaan bahaya adalah sebelum Anda berada dalam keadaan bahaya.

8. Untuk langkah awal, ajarkan anak dengan cara memfokuskan mereka agar menurut pada aturan atau disiplin yang Anda buat. Anak sudah cukup mengerti untuk mempelajari konsep ini.

Sumber : Nova

Mengajar Anak membuat keputusan

Memilih adalah salah satu hal yang harus kita lakukan dalam kehidupan sehari-hari. Itu sebabnya, sejak dini anak sudah harus dididik agar bisa dan mampu mengambil keputusan. Tapi, tentu saja, tetap harus ada batasnya.

Sebetulnya, anak pun sudah belajar secara alami tentang bagaimana harus menentukan pilihan. Lihat saja, mereka sudah bisa memilih mainan, pakaian, atau sarapan apa yang diinginkannya. "Aku enggak mau makan roti, maunya nasi goreng," begitu, kan, kira-kira ucapan si kecil. Dengan kata lain, ia sudah mampu menentukan pilihannya sendiri.

Belajar mengambil keputusan pada usia dini amat baik dan sangat disarankan. Merupakan suatu pemikiran yang baik untuk mengatasi akibat dari setiap pilihan. Jika anak tumbuh lebih besar, keputusan dan pilihan menyediakan kesempatan untuk melatih kemampuan imaginasi - imaginasi bagaimana setiap pilihan akan bermain atau berperan sendiri - yang akan membangkitkan keadaan dalam setiap kemungkinan dari pilihannya.

Pengalaman dini dalam membuat pilihan dan keputusan dapat menolong anak untuk mengembangkan kemampuannya mengambil keputusan sekaligus tanggung jawab yang harus diembannya (risiko). Ini hanya akan terjadi jika pilihannya benar dan anak bertahan pada keputusannya.

Celakanya, orangtua kerap berpikir anaknya belum bisa memutuskan dan harus senantiasa dibantu. Padahal, jika Anda yakin setiap pilihan anak bukan sesuatu yang membahayakan atau bisa mencelakai dirinya, anak akan terlatih untuk membuat keputusan dan menananggung akibat dari pilihannya.

KEKUASAAN TERBATAS
Kendati begitu, ada sejumlah aspek dari kehidupan anak yang tak bisa dan tak perlu dimintau persetujuan dari si kecil. Apa pun juga, untuk sementara waktu hingga ia besar nanti, anak tak dapat memilih. Semisal apakah ia mau atau tidak diberi vaksin polio, harus ke sekolah, tidur tidak larut malam, dan sebagainya.

Nah, dalam hal ini, orang tua tetap harus berperan dan bijaksana mengambil keputusan atas nama anaknya. Yang jelas, anak tidak dapat diberikan kekuasan untuk berpartisipasi dan memutuskan hal-hal penting, terutama yang menyangkut masa depannya.

Jadi jelas, orang tua harus menyadari, anak hanya mempunyai kekuasaan sebanyak/sebatas yang diberikan orang dewasa. Sebab, jika semua hal diserahkan pada anak, justru malah celaka.

Contohnya, karena orang tua malas "bertengkar" dengan anak, akhirnya mengalah saja ketika si kecil yang mengatakan malas pergi ke sekolah. Sesekali mungkin boleh-boleh saja diluluskan karena mungkin Anda berpikir, "Saya saja harus ke kantor 5 hari dalam seminggu, kadang merasa bosan. Apalagi anak kecil." Tapi ingat, jangan terlalu sering mengiyakan apa saja kemauan anak.

Bahaya membiarkan anak untuk mengambil keputusan sendiri tanpa batasan yang jelas, lama-kelamaan akan melahirkan bahaya. Sama halnya seperti jika mengizinkan anak memilih mainannya sendiri atau menonton TV sekehendak hatinya. Memang, membiarkan anak memutuskan pilihannya berarti mengurangi pertengkaran. Tetapi yang harus dipahami, anak belum mampu secara konsisten menyortir apa yang tidak baik untuk dirinya.

Membeli atau memiliki mainan mahal tapi hanya dimainkan sekali dua, sama dengan pemborosan. Begitu juga kalau Anda membiarkan anak memutuskan sendiri, tayangan apa yang akan ditontonnya. Nah, dalam hal ini, kekuasaan untuk memilih dan memutuskan harus tetap berada di tangan orang tua.

Sumber : Nova