Children Learn What They Live (Terjemahan Buku) Bagian 2
BAB 2. Jika Anak-anak Dibesarkan Dengan Kekerasan, Mereka Belajar Berkelahi
Kebanyakan dari kita tidak menganggap diri sendiri suka kekerasan. Kita tahu kita tidak seperti keluarga penganiaya kejam yang masuk berita utama dalam berita lokal. Tetapi siapa tahu? Kita bisa saja menciptakan atmosfer kekesalan terpendam di rumah dengan kemarahan yang tidak tersalurkan yang mungkin bocor ke dalam dinamika keluarga dan meledak sewaktu-waktu.
Memang budaya kita menawarkan banyak contoh kekerasan dan perkelahian.
Saat ini, ada perang sedang berlangsung di suatu tempat. Di negara kita sendiri, kekerasan karena SARA, kekerasan dalam rumah tangga, perang antar kelompok berandal, dan sebagainya menjadi bagian kesadaran kita setiap hari. Anak-anak terpapar pada ribuan jam adegan-adegan perkelahian dan kekerasan melalui TV dan film. Kekerasan dapat meledak, bahkan pada kehidupan sehari-hari bagi sementara anak, antara saudara kandung di rumah, kawan sekelas di sekolah, dan antara orang-orang yang tidak saling mengenal di jalan, ketika menyetir mobil, atau di lingkungan sekitar rumah. Anak-anak juga mungkin melihat atau mendengar orang tua bertengkar satu sama lain, dengan atasan kerja, atau tetangga.
Hidup dalam suasana kekerasan membuat anak-anak merasa tidak berdaya. Ada anak-anak yang bereaksi dengan menjadi kuat dan bersikap menantang, selalu siap menghadapi masalah atau bahkan pergi mencari masalah. Anak-anak lain menjadi takut berkelahi sehingga mereka menghindari semua jenis konflik, bahkan konfrontasi kecil sekali pun. Peranan-peranan ini dijalankan di setiap lapangan bermain sekolah dasar.
Pola agresi dalam keluarga mengajarkan anak-anak bahwa berkelahi merupakan hal yang perlu, sebuah penyelesaian semua masalah. Anak-anak mungkin tumbuh dengan menganggap bahwa hidup akan menjadi pertempuran, bahwa mereka tidak akan diperlakukan adil tanpa berkelahi, atau mereka harus berkelahi untuk bertahan hidup. Ini bukan yang kita inginkan untuk anak-anak kita. Bagaimana cara kita, sebagai orang tua, menyelesaikan perbedaan kita dan menangani krisis keluarga menjadi persiapan bagi anak-anak untuk belajar bagaimana cara menangani konflik - apakah dengan kekerasan dan perkelahian destruktif ataukah dialog dan perjanjian yang konstruktif.
Memuncaknya Huru Hara
Biasanya hal-hal kecil sehari-hari lah yang membuat kita kesal. Frustrasi kita menggunung dan kadang-kadang kemarahan kita meledak, bukannya tentang suatu hal yang penting, tetapi pada hal-hal yang menjadi "pemicu terakhir." Kita hilang kesabaran dengan bertumpuknya stres, sering kali ketika keluarga sedang berkumpul kembali, capek dan lapar, pada akhir suatu hari yang panjang.
Firdaus (4 tahun) mengalami hari yang mengesalkan di TK. Ia tidak mendapat giliran bermain komputer dan ia merasa gurunya tidak membuat anak-anak berbagi dengan adil. Kemudian ayah terlambat menjemputnya karena keadaan darurat di kantor.
Pada perjalanan pulang, Ayah bertanya, "Bagaimana sekolahmu?" pura-pura riang dan tertarik, meskipun sebenarnya ia capek, tergesa-gesa, dan memikirkan hal lain.
"Biasa," jawab Firdaus segera dari kursi belakang mobil, memandang kosong ke luar jendela. Radio menyiarkan berita. Lalu lintas berjalan pelan.
Ketika mereka tiba di rumah, Ibu sibuk mondar-mandir di dapur untuk menyiapkan makan malam. Berita sekilas info sedang ditayangkan di TV kecil dekat meja dapur. Semua orang kelaparan. Ketika Firdaus membuka jaketnya, tidak sengaja ia menyenggol kotak makan siangnya dari atas meja. Remah-remah sisa makanan berhamburan di lantai.
Situasi ini barangkali familiar, dan mudah membayangkan apa yang terjadi selanjutnya. Banyak di antara kita hidup dalam jadwal yang padat dan kita tahu bagaimana sulitnya melakukan semua tuntutan terhadap kita. Bagaimana baiknya kita menangani stres tergantung pada kemampuan kita menghadapi perasaan tidak sabar, tidak puas, sebal, dan kesal pada saat-saat tegang. Perasaan-perasaan "yang lebih kecil"ini perlu disadari dan dihadapi dengan cara kreatif ketika muncul atau perasaan begini akan menumpuk seiring waktu, dan menjadi perasaan "besar" - mula-mula kekesalan kecil kemudian kemarahan besar yang dapat meledak pada saat-saat kritis.
Untunglah, dalam kasus ini, Ibu mampu menangani kekesalan awalnya dan menguasai situasi dengan baik. Ia menyerahkan Firdaus sebuah tempat sampah dan sapu, sembari berkata, "Nggak apa-apa, Sayang. Nih, pakai ini buat ngeberesin."
Kemudian, setelah mengangkat ayam dari kompor, ibu berlutut di dekatnya dan memberi semangat, "Tinggal dikit lagi kamu sudah selesai nih. Sini, sisanya biar Ibu yang kerjain." Ibu mengambil alih sapu dan menyapu sisa-sisa remah makanan ke dalam tong sampah yang dipegang Firdaus. Ia tersenyum berterima kasih.
Kita semua tahu kejadian begini dapat mudah sekali berlanjut menjadi akhir berbeda. Setelah menjatuhkan kotak makanannya, Firdaus bisa saja meledak frustrasi dan berteriak, "Aku benci kotak jelek ini! Aku benci sekolah!" Ibu bisa saja menyalahkan Ayah atas kecelakaan itu, dengan berteriak, "Kok kamu tega sih membiarkan Firdaus di sini padahal aku kan lagi masak!" atau mengkritik Firdaus, dengan membentaknya, "Berantakan lagi! Kapan kamu bisa hati-hati?"
Lebih baik menghadapi perasaan frustrasi kita, meskipun sasarannya adalah diri sendiri, ketika perasaan itu muncul, karena anak-anak belajar menangani perasaan yang meningkat dari ketidaksabaran menjadi bentakan selanjutnya perkelahian terbuka dengan mengamati bagaimana kita menangani perasaan kita. Menariknya, kita bisa belajar cara-cara meredakan ketegangan dari anak-anak yang lebih muda.
Ketika anak-anak secara spontan berhenti melakukan sesuatu, dan berpindah ke kegiatan yang menghabiskan energi -seperti berlari, menggambar, atau bermain dengan boneka- mereka secara naluriah menyalurkan rasa frustrasi. Daripada meledak marah, kita bisa mencoba menyalurkan rasa marah pada kegiatan fisik -pergi berjalan sebentar, menggali di kebun, atau mencuci mobil. Jika kita tidak punya waktu berganti kegiatan, kita bisa memusatkan diri pada pernapasan, menarik napas perlahan dan menghitung sampai 10, seperti yang dilakukan orang tua zaman dulu. Tujuannya adalah melepaskan ketegangan dan kembali pada perasaan bahwa kita mampu menguasai diri. ini tidak hanya menolong kita melewati masa-masa tegang, tetapi juga memberikan contoh baik pada anak-anak kita.
Pada saat-saat anak-anak tidak menyalurkan ketegangan mereka secara alami, kita dapat mengajari mereka untuk menangani perasaan mereka melalui permainan membayangkan. Setelah hari yang melelahkan di TK, ibu Firdaus bisa bertanya padanya, "Hari ini kamu main jadi binatang apa?" Dia mungkin menjawab, "Aku mau mengaum seperti singa." Ibu dapat menimpali dengan bertanya lagi sekarang ia ingin jadi binatang apa di rumah, dan mungkin ia akan menjawab, "Sekarang aku ingin jadi anak kucing yang bulunya halus." Jawaban semacam ini memberitahukan pada ibu bahwa anaknya membutuhkan pelukan dan curahan kasih sayang setelah satu hari yang sulit.
Menangani Mega Mendung
Anak-anak memiliki hak mendasar untuk mengenali dan menyatakan perasaan mereka, termasuk perasaan marah, seperti juga orang dewasa. Ini bukan berarti mereka berhak mengganggu atau melukai orang lain atau menghancurkan barang-barang. Perilaku tertentu, termasuk memukul, menendang, menggigit, dan mendorong hingga jatuh tidak boleh dibiarkan, dan harus memiliki konsekuensi tindakan disipliner.
Anak-anak lebih kecil terutama membutuhkan kita dalam belajar menyatakan perasaan mereka dengan kata-kata daripada membiarkan mereka bertindak didorong perasaan itu. Sebagai orang tua, kita perlu menerima dan menghormati perasaan-perasaan frustrasi anak-anak sembari tetap mempertahankan aturan dan batasan tingkah laku. Menemukan keseimbangan yang konsisten merupakan tantangan.
Selama siang hari, Ibu menyela pertengkaran antara putrinya yang berumur 9 tahun, Tina, dan seorang teman yang datang bertamu. "Tidak baik marah pada temanmu," kata Ibu. "Kalian berdua, hentikan itu."
Setelah itu, Ibu membentak Tina karena tidak menyikat giginya. Tina menjawab dengan mengatakan,"Tidak baik marah pada anakmu." Ibu marah sekali.
Jika Ibu bisa berhenti sejenak dan menarik napas panjang, ia akan menyadari bahwa Tina tidak sedang mengejek atau merendahkan Ibu. Ia hanya mendebat ibunya dengan perintahnya yang tidak konsisten. Tina mempertanyakan bahwa orang dewasa boleh marah, tetapi anak-anak tidak; atau orang lain boleh marah padanya sedangkan ia tidak. Ia berhak mempertanyakan: standar ganda semacam ini bukanlah hal yang ingin kita ajarkan pada anak-anak.
Saya menyarankan bahwa orang tua mengizinkan anak-anak untuk mendefinisikan perasaan mereka sendiri. saty cara menolong mereka adalah menggantikan pernyataan dengan pertanyaan. Daripada bilang, "Ibu tahu kamu marah mengenai..." cobalah katakan, "Kenapa kamu tidak senang tentang...?" atau "Apa yang bikin kamu marah soal..?" Kemudian timpali dengan, "Apa yang dapat membuatmu lebih tenang tentang itu?" Dengan begitu anak-anak dapat memilah-milah perasaan mereka dan menemukan berbagai cara untuk menanganinya.
Mega Mendung Kita Sendiri
Bagaimana kita menangani perasaan tidak sabar, kesal, dan marah merupakan contoh yang lebih kuat bagi anak-anak daripada jika kita menyuruh anak-anak menangani perasaan mereka. Kita tidak mau membebani perasaan tidak enak kita pada anak-anak, tetapi kita juga tidak mau berpura-pura perasaan marah kita tidak ada. Dalam setiap kasus, kalau kita mau jujur, anak-anak selalu dapat merasakan perasaan orang tua meskipun kita mencoba menutupi perasaan marah.
Ibu Sam sedang sibuk membereskan rumah suatu hari Sabtu pagi setelah pekan yang melelahkan di kantornya. Memperhatikan ibunya yang melemparkan bantal sofa kencang-kencang , anaknya yang berusia 9 tahun, bertanya, "Ibu lagi marah ya?"
Ibu berhenti, menenangkan diri, dan menjawab,"Nggak kok, Sayang. Tentu saja tidak."
Sam pergi keluar untuk bermain, bingung dan tidak tenang, tetapi tidak yakin harus berbuat apa. Ibunya bisa saja menjawab, dengan lebih jujur, "Ya, Ibu kesal. Ibu kesal kamu tidak membereskan mainan. Ibu sudah repot membersihkannya, dan sekarang masih harus membawa semua mainanmu ke kamarmu. Tolong dong bantu ibu ambil semua mainanmu dari ruangan ini." Dengan demikian, Sam akan tahu bahwa persepsinya benar, bahwa Ibu memang marah. Ia juga akan tahu apa yang diharapkan ibu darinya.
Anak-anak juga belajar bahwa anak-anak bisa kesal pada temannya dan masih bisa menyelesaikan perbedaan mereka. Cicha terbangun tengah malah dan mendengar suara marah orang tuanya. Ia ketakutan dan bersembunyi di bawah selimut, dan akhirnya tertidur lagi. Pagi berikutnya, menyadari bahwa Cicha telah mendengar argumen mereka, Ayah menjelaskan padanya, "Ibu dan Ayah waktu itu membahas keuangan rumah tangga. Kami sedikit berselisih paham. Ayah minta maaf membangunkan kamu."
Penting bagi Cicha untuk mengetahui bahwa orang tuanya memang telah bertengkar, tetapi semuanya beres. Ayah dapat menjelaskan lebih lanjut, "Ibu dan Ayah tidak sepakat, tetapi kami menemukan kompromi. Kalau gagal juga, kami akan coba cara lain." Kata-kata yang menenangkan begini akan menolong Cicha memahami bahwa kadang-kadang orang bertengkar dan marah, tetapi bukan berarti mereka tidak saling mencintai. Ia juga akan belajar bahwa tidap semua keputusan dibuat dengan mudah, bahwa beberapa ketidaksetujuan dan lebih dari satu kali kesepakatan akan dibutuhkan.
Dengan jujur pada anak-anak tentang kesulitan yang tidak terelakkan dalam hidup bersama, kita dapat mengubah insiden yang tidak menyenangkan menjadi kesempatan mengajari anak nilai-nilai berharga tentang keahlian penting dalam hidup, yaitu kompromi dan negosiasi, pelajaran yang akan dapat mereka gunakan saat ini dan di masa mendatang.
Cerah Sesekali Berawan
Bagi sebagian besar dari kita, perasaan kesal datang dan pergi seperti cuaca mendung. Laksana cuaca, mudah berpikir bahwa frustrasi merupakan sesuatu yang terjadi pada kita, bahwa kita tidak punya kendali atas perasaan itu. Jika kita semakin paham mengenai reaksi kita, kita dapat mulai melihat bahwa kita sebenarnya punya andil terhadap perasaan itu.
Semakin kita dapat menangani rasa marah dengan kreatif dan membangun, semakin rendah kemungkinan perasaan kesal kita berlanjut ke perkelahian. Perkelahian akan berlanjut ke perkelahian lagi.
Ironisnya, kita lebih cenderung marah pada orang-orang tercinta dalam keluarga daripada terhadap kenalan, teman, atau orang asing. Ini sebabnya sangat penting untuk menangani perasaan ini begitu muncul, sebelum perasaan itu meraksasa. Kekesalan lebih mudah dihadapi daripada kemurkaan.
Penting artinya dan melegakan jika kita mengetahui kita tidak perlu menjadi teladan sempurna bagi anak-anak. Akan ada saat-saat di mana kita kehilangan kesabaran. Jika kita mampu mengenanli dan menilai kesalahan kita, dan meminta maaf atas perilaku kita, anak-anak akan belajar pelajaran penting- bahwa Ibu dan Ayah tengah terus-menerus belajar tentang cara menangani perasaan mereka juga.
Penting artinya menunjukkan pada anak-anak bahwa rasa marah bukanlah musuh untuk dilawan, melainkan energi yang harus dikendalikan secara kreatif. Bagaimana kita menangani energi tersebut dan bagaimana kita mengarahkannya penting bagi kita sendiri dan bagi kesehatan dan kesejahteraan keluarga. Lagi pula, perilaku kita sehari-harilah yang menciptakan pola dalam keluarga yang akan diteruskan anak-anak kita kepada keluarga mereka di masa depan - cucu-cucu kita.
Sumber : Fahima
Kebanyakan dari kita tidak menganggap diri sendiri suka kekerasan. Kita tahu kita tidak seperti keluarga penganiaya kejam yang masuk berita utama dalam berita lokal. Tetapi siapa tahu? Kita bisa saja menciptakan atmosfer kekesalan terpendam di rumah dengan kemarahan yang tidak tersalurkan yang mungkin bocor ke dalam dinamika keluarga dan meledak sewaktu-waktu.
Memang budaya kita menawarkan banyak contoh kekerasan dan perkelahian.
Saat ini, ada perang sedang berlangsung di suatu tempat. Di negara kita sendiri, kekerasan karena SARA, kekerasan dalam rumah tangga, perang antar kelompok berandal, dan sebagainya menjadi bagian kesadaran kita setiap hari. Anak-anak terpapar pada ribuan jam adegan-adegan perkelahian dan kekerasan melalui TV dan film. Kekerasan dapat meledak, bahkan pada kehidupan sehari-hari bagi sementara anak, antara saudara kandung di rumah, kawan sekelas di sekolah, dan antara orang-orang yang tidak saling mengenal di jalan, ketika menyetir mobil, atau di lingkungan sekitar rumah. Anak-anak juga mungkin melihat atau mendengar orang tua bertengkar satu sama lain, dengan atasan kerja, atau tetangga.
Hidup dalam suasana kekerasan membuat anak-anak merasa tidak berdaya. Ada anak-anak yang bereaksi dengan menjadi kuat dan bersikap menantang, selalu siap menghadapi masalah atau bahkan pergi mencari masalah. Anak-anak lain menjadi takut berkelahi sehingga mereka menghindari semua jenis konflik, bahkan konfrontasi kecil sekali pun. Peranan-peranan ini dijalankan di setiap lapangan bermain sekolah dasar.
Pola agresi dalam keluarga mengajarkan anak-anak bahwa berkelahi merupakan hal yang perlu, sebuah penyelesaian semua masalah. Anak-anak mungkin tumbuh dengan menganggap bahwa hidup akan menjadi pertempuran, bahwa mereka tidak akan diperlakukan adil tanpa berkelahi, atau mereka harus berkelahi untuk bertahan hidup. Ini bukan yang kita inginkan untuk anak-anak kita. Bagaimana cara kita, sebagai orang tua, menyelesaikan perbedaan kita dan menangani krisis keluarga menjadi persiapan bagi anak-anak untuk belajar bagaimana cara menangani konflik - apakah dengan kekerasan dan perkelahian destruktif ataukah dialog dan perjanjian yang konstruktif.
Memuncaknya Huru Hara
Biasanya hal-hal kecil sehari-hari lah yang membuat kita kesal. Frustrasi kita menggunung dan kadang-kadang kemarahan kita meledak, bukannya tentang suatu hal yang penting, tetapi pada hal-hal yang menjadi "pemicu terakhir." Kita hilang kesabaran dengan bertumpuknya stres, sering kali ketika keluarga sedang berkumpul kembali, capek dan lapar, pada akhir suatu hari yang panjang.
Firdaus (4 tahun) mengalami hari yang mengesalkan di TK. Ia tidak mendapat giliran bermain komputer dan ia merasa gurunya tidak membuat anak-anak berbagi dengan adil. Kemudian ayah terlambat menjemputnya karena keadaan darurat di kantor.
Pada perjalanan pulang, Ayah bertanya, "Bagaimana sekolahmu?" pura-pura riang dan tertarik, meskipun sebenarnya ia capek, tergesa-gesa, dan memikirkan hal lain.
"Biasa," jawab Firdaus segera dari kursi belakang mobil, memandang kosong ke luar jendela. Radio menyiarkan berita. Lalu lintas berjalan pelan.
Ketika mereka tiba di rumah, Ibu sibuk mondar-mandir di dapur untuk menyiapkan makan malam. Berita sekilas info sedang ditayangkan di TV kecil dekat meja dapur. Semua orang kelaparan. Ketika Firdaus membuka jaketnya, tidak sengaja ia menyenggol kotak makan siangnya dari atas meja. Remah-remah sisa makanan berhamburan di lantai.
Situasi ini barangkali familiar, dan mudah membayangkan apa yang terjadi selanjutnya. Banyak di antara kita hidup dalam jadwal yang padat dan kita tahu bagaimana sulitnya melakukan semua tuntutan terhadap kita. Bagaimana baiknya kita menangani stres tergantung pada kemampuan kita menghadapi perasaan tidak sabar, tidak puas, sebal, dan kesal pada saat-saat tegang. Perasaan-perasaan "yang lebih kecil"ini perlu disadari dan dihadapi dengan cara kreatif ketika muncul atau perasaan begini akan menumpuk seiring waktu, dan menjadi perasaan "besar" - mula-mula kekesalan kecil kemudian kemarahan besar yang dapat meledak pada saat-saat kritis.
Untunglah, dalam kasus ini, Ibu mampu menangani kekesalan awalnya dan menguasai situasi dengan baik. Ia menyerahkan Firdaus sebuah tempat sampah dan sapu, sembari berkata, "Nggak apa-apa, Sayang. Nih, pakai ini buat ngeberesin."
Kemudian, setelah mengangkat ayam dari kompor, ibu berlutut di dekatnya dan memberi semangat, "Tinggal dikit lagi kamu sudah selesai nih. Sini, sisanya biar Ibu yang kerjain." Ibu mengambil alih sapu dan menyapu sisa-sisa remah makanan ke dalam tong sampah yang dipegang Firdaus. Ia tersenyum berterima kasih.
Kita semua tahu kejadian begini dapat mudah sekali berlanjut menjadi akhir berbeda. Setelah menjatuhkan kotak makanannya, Firdaus bisa saja meledak frustrasi dan berteriak, "Aku benci kotak jelek ini! Aku benci sekolah!" Ibu bisa saja menyalahkan Ayah atas kecelakaan itu, dengan berteriak, "Kok kamu tega sih membiarkan Firdaus di sini padahal aku kan lagi masak!" atau mengkritik Firdaus, dengan membentaknya, "Berantakan lagi! Kapan kamu bisa hati-hati?"
Lebih baik menghadapi perasaan frustrasi kita, meskipun sasarannya adalah diri sendiri, ketika perasaan itu muncul, karena anak-anak belajar menangani perasaan yang meningkat dari ketidaksabaran menjadi bentakan selanjutnya perkelahian terbuka dengan mengamati bagaimana kita menangani perasaan kita. Menariknya, kita bisa belajar cara-cara meredakan ketegangan dari anak-anak yang lebih muda.
Ketika anak-anak secara spontan berhenti melakukan sesuatu, dan berpindah ke kegiatan yang menghabiskan energi -seperti berlari, menggambar, atau bermain dengan boneka- mereka secara naluriah menyalurkan rasa frustrasi. Daripada meledak marah, kita bisa mencoba menyalurkan rasa marah pada kegiatan fisik -pergi berjalan sebentar, menggali di kebun, atau mencuci mobil. Jika kita tidak punya waktu berganti kegiatan, kita bisa memusatkan diri pada pernapasan, menarik napas perlahan dan menghitung sampai 10, seperti yang dilakukan orang tua zaman dulu. Tujuannya adalah melepaskan ketegangan dan kembali pada perasaan bahwa kita mampu menguasai diri. ini tidak hanya menolong kita melewati masa-masa tegang, tetapi juga memberikan contoh baik pada anak-anak kita.
Pada saat-saat anak-anak tidak menyalurkan ketegangan mereka secara alami, kita dapat mengajari mereka untuk menangani perasaan mereka melalui permainan membayangkan. Setelah hari yang melelahkan di TK, ibu Firdaus bisa bertanya padanya, "Hari ini kamu main jadi binatang apa?" Dia mungkin menjawab, "Aku mau mengaum seperti singa." Ibu dapat menimpali dengan bertanya lagi sekarang ia ingin jadi binatang apa di rumah, dan mungkin ia akan menjawab, "Sekarang aku ingin jadi anak kucing yang bulunya halus." Jawaban semacam ini memberitahukan pada ibu bahwa anaknya membutuhkan pelukan dan curahan kasih sayang setelah satu hari yang sulit.
Menangani Mega Mendung
Anak-anak memiliki hak mendasar untuk mengenali dan menyatakan perasaan mereka, termasuk perasaan marah, seperti juga orang dewasa. Ini bukan berarti mereka berhak mengganggu atau melukai orang lain atau menghancurkan barang-barang. Perilaku tertentu, termasuk memukul, menendang, menggigit, dan mendorong hingga jatuh tidak boleh dibiarkan, dan harus memiliki konsekuensi tindakan disipliner.
Anak-anak lebih kecil terutama membutuhkan kita dalam belajar menyatakan perasaan mereka dengan kata-kata daripada membiarkan mereka bertindak didorong perasaan itu. Sebagai orang tua, kita perlu menerima dan menghormati perasaan-perasaan frustrasi anak-anak sembari tetap mempertahankan aturan dan batasan tingkah laku. Menemukan keseimbangan yang konsisten merupakan tantangan.
Selama siang hari, Ibu menyela pertengkaran antara putrinya yang berumur 9 tahun, Tina, dan seorang teman yang datang bertamu. "Tidak baik marah pada temanmu," kata Ibu. "Kalian berdua, hentikan itu."
Setelah itu, Ibu membentak Tina karena tidak menyikat giginya. Tina menjawab dengan mengatakan,"Tidak baik marah pada anakmu." Ibu marah sekali.
Jika Ibu bisa berhenti sejenak dan menarik napas panjang, ia akan menyadari bahwa Tina tidak sedang mengejek atau merendahkan Ibu. Ia hanya mendebat ibunya dengan perintahnya yang tidak konsisten. Tina mempertanyakan bahwa orang dewasa boleh marah, tetapi anak-anak tidak; atau orang lain boleh marah padanya sedangkan ia tidak. Ia berhak mempertanyakan: standar ganda semacam ini bukanlah hal yang ingin kita ajarkan pada anak-anak.
Saya menyarankan bahwa orang tua mengizinkan anak-anak untuk mendefinisikan perasaan mereka sendiri. saty cara menolong mereka adalah menggantikan pernyataan dengan pertanyaan. Daripada bilang, "Ibu tahu kamu marah mengenai..." cobalah katakan, "Kenapa kamu tidak senang tentang...?" atau "Apa yang bikin kamu marah soal..?" Kemudian timpali dengan, "Apa yang dapat membuatmu lebih tenang tentang itu?" Dengan begitu anak-anak dapat memilah-milah perasaan mereka dan menemukan berbagai cara untuk menanganinya.
Mega Mendung Kita Sendiri
Bagaimana kita menangani perasaan tidak sabar, kesal, dan marah merupakan contoh yang lebih kuat bagi anak-anak daripada jika kita menyuruh anak-anak menangani perasaan mereka. Kita tidak mau membebani perasaan tidak enak kita pada anak-anak, tetapi kita juga tidak mau berpura-pura perasaan marah kita tidak ada. Dalam setiap kasus, kalau kita mau jujur, anak-anak selalu dapat merasakan perasaan orang tua meskipun kita mencoba menutupi perasaan marah.
Ibu Sam sedang sibuk membereskan rumah suatu hari Sabtu pagi setelah pekan yang melelahkan di kantornya. Memperhatikan ibunya yang melemparkan bantal sofa kencang-kencang , anaknya yang berusia 9 tahun, bertanya, "Ibu lagi marah ya?"
Ibu berhenti, menenangkan diri, dan menjawab,"Nggak kok, Sayang. Tentu saja tidak."
Sam pergi keluar untuk bermain, bingung dan tidak tenang, tetapi tidak yakin harus berbuat apa. Ibunya bisa saja menjawab, dengan lebih jujur, "Ya, Ibu kesal. Ibu kesal kamu tidak membereskan mainan. Ibu sudah repot membersihkannya, dan sekarang masih harus membawa semua mainanmu ke kamarmu. Tolong dong bantu ibu ambil semua mainanmu dari ruangan ini." Dengan demikian, Sam akan tahu bahwa persepsinya benar, bahwa Ibu memang marah. Ia juga akan tahu apa yang diharapkan ibu darinya.
Anak-anak juga belajar bahwa anak-anak bisa kesal pada temannya dan masih bisa menyelesaikan perbedaan mereka. Cicha terbangun tengah malah dan mendengar suara marah orang tuanya. Ia ketakutan dan bersembunyi di bawah selimut, dan akhirnya tertidur lagi. Pagi berikutnya, menyadari bahwa Cicha telah mendengar argumen mereka, Ayah menjelaskan padanya, "Ibu dan Ayah waktu itu membahas keuangan rumah tangga. Kami sedikit berselisih paham. Ayah minta maaf membangunkan kamu."
Penting bagi Cicha untuk mengetahui bahwa orang tuanya memang telah bertengkar, tetapi semuanya beres. Ayah dapat menjelaskan lebih lanjut, "Ibu dan Ayah tidak sepakat, tetapi kami menemukan kompromi. Kalau gagal juga, kami akan coba cara lain." Kata-kata yang menenangkan begini akan menolong Cicha memahami bahwa kadang-kadang orang bertengkar dan marah, tetapi bukan berarti mereka tidak saling mencintai. Ia juga akan belajar bahwa tidap semua keputusan dibuat dengan mudah, bahwa beberapa ketidaksetujuan dan lebih dari satu kali kesepakatan akan dibutuhkan.
Dengan jujur pada anak-anak tentang kesulitan yang tidak terelakkan dalam hidup bersama, kita dapat mengubah insiden yang tidak menyenangkan menjadi kesempatan mengajari anak nilai-nilai berharga tentang keahlian penting dalam hidup, yaitu kompromi dan negosiasi, pelajaran yang akan dapat mereka gunakan saat ini dan di masa mendatang.
Cerah Sesekali Berawan
Bagi sebagian besar dari kita, perasaan kesal datang dan pergi seperti cuaca mendung. Laksana cuaca, mudah berpikir bahwa frustrasi merupakan sesuatu yang terjadi pada kita, bahwa kita tidak punya kendali atas perasaan itu. Jika kita semakin paham mengenai reaksi kita, kita dapat mulai melihat bahwa kita sebenarnya punya andil terhadap perasaan itu.
Semakin kita dapat menangani rasa marah dengan kreatif dan membangun, semakin rendah kemungkinan perasaan kesal kita berlanjut ke perkelahian. Perkelahian akan berlanjut ke perkelahian lagi.
Ironisnya, kita lebih cenderung marah pada orang-orang tercinta dalam keluarga daripada terhadap kenalan, teman, atau orang asing. Ini sebabnya sangat penting untuk menangani perasaan ini begitu muncul, sebelum perasaan itu meraksasa. Kekesalan lebih mudah dihadapi daripada kemurkaan.
Penting artinya dan melegakan jika kita mengetahui kita tidak perlu menjadi teladan sempurna bagi anak-anak. Akan ada saat-saat di mana kita kehilangan kesabaran. Jika kita mampu mengenanli dan menilai kesalahan kita, dan meminta maaf atas perilaku kita, anak-anak akan belajar pelajaran penting- bahwa Ibu dan Ayah tengah terus-menerus belajar tentang cara menangani perasaan mereka juga.
Penting artinya menunjukkan pada anak-anak bahwa rasa marah bukanlah musuh untuk dilawan, melainkan energi yang harus dikendalikan secara kreatif. Bagaimana kita menangani energi tersebut dan bagaimana kita mengarahkannya penting bagi kita sendiri dan bagi kesehatan dan kesejahteraan keluarga. Lagi pula, perilaku kita sehari-harilah yang menciptakan pola dalam keluarga yang akan diteruskan anak-anak kita kepada keluarga mereka di masa depan - cucu-cucu kita.
Sumber : Fahima