Moga Menjadi Manfaat

Berharap menjadi Hamba-Nya yang terus menebar kebaikan... Menebar manfaat dan Ilmu... Semoga bisa menjadi amal baik tuk di akhirat nanti... Amin...

Thursday, March 01, 2007

Children Learn What They Live (Terjemahan Buku) Bagian 2

BAB 2. Jika Anak-anak Dibesarkan Dengan Kekerasan, Mereka Belajar Berkelahi

Kebanyakan dari kita tidak menganggap diri sendiri suka kekerasan. Kita tahu kita tidak seperti keluarga penganiaya kejam yang masuk berita utama dalam berita lokal. Tetapi siapa tahu? Kita bisa saja menciptakan atmosfer kekesalan terpendam di rumah dengan kemarahan yang tidak tersalurkan yang mungkin bocor ke dalam dinamika keluarga dan meledak sewaktu-waktu.
Memang budaya kita menawarkan banyak contoh kekerasan dan perkelahian.


Saat ini, ada perang sedang berlangsung di suatu tempat. Di negara kita sendiri, kekerasan karena SARA, kekerasan dalam rumah tangga, perang antar kelompok berandal, dan sebagainya menjadi bagian kesadaran kita setiap hari. Anak-anak terpapar pada ribuan jam adegan-adegan perkelahian dan kekerasan melalui TV dan film. Kekerasan dapat meledak, bahkan pada kehidupan sehari-hari bagi sementara anak, antara saudara kandung di rumah, kawan sekelas di sekolah, dan antara orang-orang yang tidak saling mengenal di jalan, ketika menyetir mobil, atau di lingkungan sekitar rumah. Anak-anak juga mungkin melihat atau mendengar orang tua bertengkar satu sama lain, dengan atasan kerja, atau tetangga.

Hidup dalam suasana kekerasan membuat anak-anak merasa tidak berdaya. Ada anak-anak yang bereaksi dengan menjadi kuat dan bersikap menantang, selalu siap menghadapi masalah atau bahkan pergi mencari masalah. Anak-anak lain menjadi takut berkelahi sehingga mereka menghindari semua jenis konflik, bahkan konfrontasi kecil sekali pun. Peranan-peranan ini dijalankan di setiap lapangan bermain sekolah dasar.

Pola agresi dalam keluarga mengajarkan anak-anak bahwa berkelahi merupakan hal yang perlu, sebuah penyelesaian semua masalah. Anak-anak mungkin tumbuh dengan menganggap bahwa hidup akan menjadi pertempuran, bahwa mereka tidak akan diperlakukan adil tanpa berkelahi, atau mereka harus berkelahi untuk bertahan hidup. Ini bukan yang kita inginkan untuk anak-anak kita. Bagaimana cara kita, sebagai orang tua, menyelesaikan perbedaan kita dan menangani krisis keluarga menjadi persiapan bagi anak-anak untuk belajar bagaimana cara menangani konflik - apakah dengan kekerasan dan perkelahian destruktif ataukah dialog dan perjanjian yang konstruktif.

Memuncaknya Huru Hara
Biasanya hal-hal kecil sehari-hari lah yang membuat kita kesal. Frustrasi kita menggunung dan kadang-kadang kemarahan kita meledak, bukannya tentang suatu hal yang penting, tetapi pada hal-hal yang menjadi "pemicu terakhir." Kita hilang kesabaran dengan bertumpuknya stres, sering kali ketika keluarga sedang berkumpul kembali, capek dan lapar, pada akhir suatu hari yang panjang.


Firdaus (4 tahun) mengalami hari yang mengesalkan di TK. Ia tidak mendapat giliran bermain komputer dan ia merasa gurunya tidak membuat anak-anak berbagi dengan adil. Kemudian ayah terlambat menjemputnya karena keadaan darurat di kantor.

Pada perjalanan pulang, Ayah bertanya, "Bagaimana sekolahmu?" pura-pura riang dan tertarik, meskipun sebenarnya ia capek, tergesa-gesa, dan memikirkan hal lain.
"Biasa," jawab Firdaus segera dari kursi belakang mobil, memandang kosong ke luar jendela. Radio menyiarkan berita. Lalu lintas berjalan pelan.


Ketika mereka tiba di rumah, Ibu sibuk mondar-mandir di dapur untuk menyiapkan makan malam. Berita sekilas info sedang ditayangkan di TV kecil dekat meja dapur. Semua orang kelaparan. Ketika Firdaus membuka jaketnya, tidak sengaja ia menyenggol kotak makan siangnya dari atas meja. Remah-remah sisa makanan berhamburan di lantai.

Situasi ini barangkali familiar, dan mudah membayangkan apa yang terjadi selanjutnya. Banyak di antara kita hidup dalam jadwal yang padat dan kita tahu bagaimana sulitnya melakukan semua tuntutan terhadap kita. Bagaimana baiknya kita menangani stres tergantung pada kemampuan kita menghadapi perasaan tidak sabar, tidak puas, sebal, dan kesal pada saat-saat tegang. Perasaan-perasaan "yang lebih kecil"ini perlu disadari dan dihadapi dengan cara kreatif ketika muncul atau perasaan begini akan menumpuk seiring waktu, dan menjadi perasaan "besar" - mula-mula kekesalan kecil kemudian kemarahan besar yang dapat meledak pada saat-saat kritis.

Untunglah, dalam kasus ini, Ibu mampu menangani kekesalan awalnya dan menguasai situasi dengan baik. Ia menyerahkan Firdaus sebuah tempat sampah dan sapu, sembari berkata, "Nggak apa-apa, Sayang. Nih, pakai ini buat ngeberesin."
Kemudian, setelah mengangkat ayam dari kompor, ibu berlutut di dekatnya dan memberi semangat, "Tinggal dikit lagi kamu sudah selesai nih. Sini, sisanya biar Ibu yang kerjain." Ibu mengambil alih sapu dan menyapu sisa-sisa remah makanan ke dalam tong sampah yang dipegang Firdaus. Ia tersenyum berterima kasih.


Kita semua tahu kejadian begini dapat mudah sekali berlanjut menjadi akhir berbeda. Setelah menjatuhkan kotak makanannya, Firdaus bisa saja meledak frustrasi dan berteriak, "Aku benci kotak jelek ini! Aku benci sekolah!" Ibu bisa saja menyalahkan Ayah atas kecelakaan itu, dengan berteriak, "Kok kamu tega sih membiarkan Firdaus di sini padahal aku kan lagi masak!" atau mengkritik Firdaus, dengan membentaknya, "Berantakan lagi! Kapan kamu bisa hati-hati?"

Lebih baik menghadapi perasaan frustrasi kita, meskipun sasarannya adalah diri sendiri, ketika perasaan itu muncul, karena anak-anak belajar menangani perasaan yang meningkat dari ketidaksabaran menjadi bentakan selanjutnya perkelahian terbuka dengan mengamati bagaimana kita menangani perasaan kita. Menariknya, kita bisa belajar cara-cara meredakan ketegangan dari anak-anak yang lebih muda.

Ketika anak-anak secara spontan berhenti melakukan sesuatu, dan berpindah ke kegiatan yang menghabiskan energi -seperti berlari, menggambar, atau bermain dengan boneka- mereka secara naluriah menyalurkan rasa frustrasi. Daripada meledak marah, kita bisa mencoba menyalurkan rasa marah pada kegiatan fisik -pergi berjalan sebentar, menggali di kebun, atau mencuci mobil. Jika kita tidak punya waktu berganti kegiatan, kita bisa memusatkan diri pada pernapasan, menarik napas perlahan dan menghitung sampai 10, seperti yang dilakukan orang tua zaman dulu. Tujuannya adalah melepaskan ketegangan dan kembali pada perasaan bahwa kita mampu menguasai diri. ini tidak hanya menolong kita melewati masa-masa tegang, tetapi juga memberikan contoh baik pada anak-anak kita.

Pada saat-saat anak-anak tidak menyalurkan ketegangan mereka secara alami, kita dapat mengajari mereka untuk menangani perasaan mereka melalui permainan membayangkan. Setelah hari yang melelahkan di TK, ibu Firdaus bisa bertanya padanya, "Hari ini kamu main jadi binatang apa?" Dia mungkin menjawab, "Aku mau mengaum seperti singa." Ibu dapat menimpali dengan bertanya lagi sekarang ia ingin jadi binatang apa di rumah, dan mungkin ia akan menjawab, "Sekarang aku ingin jadi anak kucing yang bulunya halus." Jawaban semacam ini memberitahukan pada ibu bahwa anaknya membutuhkan pelukan dan curahan kasih sayang setelah satu hari yang sulit.

Menangani Mega Mendung
Anak-anak memiliki hak mendasar untuk mengenali dan menyatakan perasaan mereka, termasuk perasaan marah, seperti juga orang dewasa. Ini bukan berarti mereka berhak mengganggu atau melukai orang lain atau menghancurkan barang-barang. Perilaku tertentu, termasuk memukul, menendang, menggigit, dan mendorong hingga jatuh tidak boleh dibiarkan, dan harus memiliki konsekuensi tindakan disipliner.


Anak-anak lebih kecil terutama membutuhkan kita dalam belajar menyatakan perasaan mereka dengan kata-kata daripada membiarkan mereka bertindak didorong perasaan itu. Sebagai orang tua, kita perlu menerima dan menghormati perasaan-perasaan frustrasi anak-anak sembari tetap mempertahankan aturan dan batasan tingkah laku. Menemukan keseimbangan yang konsisten merupakan tantangan.

Selama siang hari, Ibu menyela pertengkaran antara putrinya yang berumur 9 tahun, Tina, dan seorang teman yang datang bertamu. "Tidak baik marah pada temanmu," kata Ibu. "Kalian berdua, hentikan itu."

Setelah itu, Ibu membentak Tina karena tidak menyikat giginya. Tina menjawab dengan mengatakan,"Tidak baik marah pada anakmu." Ibu marah sekali.

Jika Ibu bisa berhenti sejenak dan menarik napas panjang, ia akan menyadari bahwa Tina tidak sedang mengejek atau merendahkan Ibu. Ia hanya mendebat ibunya dengan perintahnya yang tidak konsisten. Tina mempertanyakan bahwa orang dewasa boleh marah, tetapi anak-anak tidak; atau orang lain boleh marah padanya sedangkan ia tidak. Ia berhak mempertanyakan: standar ganda semacam ini bukanlah hal yang ingin kita ajarkan pada anak-anak.

Saya menyarankan bahwa orang tua mengizinkan anak-anak untuk mendefinisikan perasaan mereka sendiri. saty cara menolong mereka adalah menggantikan pernyataan dengan pertanyaan. Daripada bilang, "Ibu tahu kamu marah mengenai..." cobalah katakan, "Kenapa kamu tidak senang tentang...?" atau "Apa yang bikin kamu marah soal..?" Kemudian timpali dengan, "Apa yang dapat membuatmu lebih tenang tentang itu?" Dengan begitu anak-anak dapat memilah-milah perasaan mereka dan menemukan berbagai cara untuk menanganinya.

Mega Mendung Kita Sendiri
Bagaimana kita menangani perasaan tidak sabar, kesal, dan marah merupakan contoh yang lebih kuat bagi anak-anak daripada jika kita menyuruh anak-anak menangani perasaan mereka. Kita tidak mau membebani perasaan tidak enak kita pada anak-anak, tetapi kita juga tidak mau berpura-pura perasaan marah kita tidak ada. Dalam setiap kasus, kalau kita mau jujur, anak-anak selalu dapat merasakan perasaan orang tua meskipun kita mencoba menutupi perasaan marah.


Ibu Sam sedang sibuk membereskan rumah suatu hari Sabtu pagi setelah pekan yang melelahkan di kantornya. Memperhatikan ibunya yang melemparkan bantal sofa kencang-kencang , anaknya yang berusia 9 tahun, bertanya, "Ibu lagi marah ya?"
Ibu berhenti, menenangkan diri, dan menjawab,"Nggak kok, Sayang. Tentu saja tidak."


Sam pergi keluar untuk bermain, bingung dan tidak tenang, tetapi tidak yakin harus berbuat apa. Ibunya bisa saja menjawab, dengan lebih jujur, "Ya, Ibu kesal. Ibu kesal kamu tidak membereskan mainan. Ibu sudah repot membersihkannya, dan sekarang masih harus membawa semua mainanmu ke kamarmu. Tolong dong bantu ibu ambil semua mainanmu dari ruangan ini." Dengan demikian, Sam akan tahu bahwa persepsinya benar, bahwa Ibu memang marah. Ia juga akan tahu apa yang diharapkan ibu darinya.

Anak-anak juga belajar bahwa anak-anak bisa kesal pada temannya dan masih bisa menyelesaikan perbedaan mereka. Cicha terbangun tengah malah dan mendengar suara marah orang tuanya. Ia ketakutan dan bersembunyi di bawah selimut, dan akhirnya tertidur lagi. Pagi berikutnya, menyadari bahwa Cicha telah mendengar argumen mereka, Ayah menjelaskan padanya, "Ibu dan Ayah waktu itu membahas keuangan rumah tangga. Kami sedikit berselisih paham. Ayah minta maaf membangunkan kamu."

Penting bagi Cicha untuk mengetahui bahwa orang tuanya memang telah bertengkar, tetapi semuanya beres. Ayah dapat menjelaskan lebih lanjut, "Ibu dan Ayah tidak sepakat, tetapi kami menemukan kompromi. Kalau gagal juga, kami akan coba cara lain." Kata-kata yang menenangkan begini akan menolong Cicha memahami bahwa kadang-kadang orang bertengkar dan marah, tetapi bukan berarti mereka tidak saling mencintai. Ia juga akan belajar bahwa tidap semua keputusan dibuat dengan mudah, bahwa beberapa ketidaksetujuan dan lebih dari satu kali kesepakatan akan dibutuhkan.

Dengan jujur pada anak-anak tentang kesulitan yang tidak terelakkan dalam hidup bersama, kita dapat mengubah insiden yang tidak menyenangkan menjadi kesempatan mengajari anak nilai-nilai berharga tentang keahlian penting dalam hidup, yaitu kompromi dan negosiasi, pelajaran yang akan dapat mereka gunakan saat ini dan di masa mendatang.

Cerah Sesekali Berawan
Bagi sebagian besar dari kita, perasaan kesal datang dan pergi seperti cuaca mendung. Laksana cuaca, mudah berpikir bahwa frustrasi merupakan sesuatu yang terjadi pada kita, bahwa kita tidak punya kendali atas perasaan itu. Jika kita semakin paham mengenai reaksi kita, kita dapat mulai melihat bahwa kita sebenarnya punya andil terhadap perasaan itu.


Semakin kita dapat menangani rasa marah dengan kreatif dan membangun, semakin rendah kemungkinan perasaan kesal kita berlanjut ke perkelahian. Perkelahian akan berlanjut ke perkelahian lagi.

Ironisnya, kita lebih cenderung marah pada orang-orang tercinta dalam keluarga daripada terhadap kenalan, teman, atau orang asing. Ini sebabnya sangat penting untuk menangani perasaan ini begitu muncul, sebelum perasaan itu meraksasa. Kekesalan lebih mudah dihadapi daripada kemurkaan.

Penting artinya dan melegakan jika kita mengetahui kita tidak perlu menjadi teladan sempurna bagi anak-anak. Akan ada saat-saat di mana kita kehilangan kesabaran. Jika kita mampu mengenanli dan menilai kesalahan kita, dan meminta maaf atas perilaku kita, anak-anak akan belajar pelajaran penting- bahwa Ibu dan Ayah tengah terus-menerus belajar tentang cara menangani perasaan mereka juga.

Penting artinya menunjukkan pada anak-anak bahwa rasa marah bukanlah musuh untuk dilawan, melainkan energi yang harus dikendalikan secara kreatif. Bagaimana kita menangani energi tersebut dan bagaimana kita mengarahkannya penting bagi kita sendiri dan bagi kesehatan dan kesejahteraan keluarga. Lagi pula, perilaku kita sehari-harilah yang menciptakan pola dalam keluarga yang akan diteruskan anak-anak kita kepada keluarga mereka di masa depan - cucu-cucu kita.

Sumber : Fahima

Children Learn What They Live (Terjemahan Buku) Bagian 1

Jika Anak-Anak Dibesarkan Dengan Kritikan, Mereka Belajar Menyalahkan

Anak-anak ibarat spons. Mereka menyerap segala perbuatan kita, segala perkataan kita. Mereka belajar dari kita setiap saat, baik kita sadar maupun tidak bahwa kita sedang mengajari mereka. Jadi apabila kita terjebak dalam pola mengkritik - mengeluh tentang mereka, orang lain, atau dunia sekitar kita - kita menunjukkan bagaimana menyalahkan orang lain, atau bahkan lebih parah, menyalahkan diri mereka sendiri. Kita mengajari mereka untuk melihat apa yang salah dengan dunia, dan bukannya apa yang benar.

Kritikan dapat disampaikan dalam lusinan cara - kata-kata, nada suara, tingkah laku, atau bahkan satu pandangan saja. Kita semua tahu bagaimana memberikan satu pandangan menyalahkan -melotot, misalnya- atau membumbui kata-kata dengan sindiran tajam. Anak-anak kecil khususnya sensitif terhadap cara sesuatu disampaikan dan mudah mengambil hati. Orang tua bisa bilang "Waktunya berangkat" dan tidak bermaksud apa-apa lagi. Tetapi orang tua yang sedang tergesa-gesa dan tidak sabar, bisa juga mengatakan hal yang sama dengan menyiratkan "Kamu lambat sekali sih." Meskipun kedua cara ini tidak dijamin efektif, anak-anak akan mendengar kedua pesan ini secara berbeda. Pesan yang kedua akan membuatnya merasa tidak nyaman dengan dirinya.

Tentu saja, kita semua memiliki hal-hal tertentu yang paling dibenci dan semua orang toh mengomel sewaktu-waktu. Kita mungkin mengomel ketika anak-anak bisa mendengarkan kita. Tetapi ini tidak sama dengan hidup dengan pola mengkritik tanpa henti, dengan fokus terus-terusan mencari kesalahan. Kritikan yang sering -tidak perduli sasaran kesalahannya- memiliki efek bertumpuk, yang menciptakan suasana mengadili yang negatif bagi kehidupan keluarga. Sebagai orang tua, kita memiliki pilihan - kita dapat menciptakan atmosfer emosional yang penuh kritikan dan menyalahkan, atau yang suportif dan mendukung.

Dalam Panasnya Suasana
Wati (6 tahun) sedang berdiri di dekat meja dapur, mengatur bunga-bunga yang dipetiknya di dalam sebuah penyiram bunga dari plastik yang penuh air. Tiba-tiba, penyiram bunganya jatuh, menghamburkan air, daun, dan bunga-bunga di lantai. Lantai apur menjadi basah dan berantakan. Wati menangis keras-keras, Ibu datang secepat kilat.
"Aduh! Kenapa kamu ceroboh sekali sih?"kata Ibu, menghela napas kesal.

Kita semua pernah mengatakan hal semacam ini. Kita beraksi tanpa berpikir. Kata-kata terbang dari mulut kita begitu cepat dan bahkan kita pun kaget mendengarnya. Mungkin kita sedang capek. Mungkin kita sedang bingung tentang masalah lain. Tetapi, belum terlambat mengubah nada suara kita, dan mencegah kecelakaan kecil ini menjadi masalah besar sehingga benar-benar meluluhlantakkan perasaan harga diri anak. Jika ibu Wati berhenti sejenak, menenangkan dirinya, dan minta maaf karena membentak, proses beres-beres akan berjalan lebih baik. Sebaliknya, jika ibu Wati melanjutkan omelannya, Wati mungkin mulai melihat dirinya sebagai orang yang tidak berguna dan ceroboh.

Saya tahu bahwa menekan perasaan sebal kita, meskipun kita tahu merupakan hal terbaik bagi anak-anak kita, tidak selalu mudah. Sebagian besar dari kita harus bekerja keras memahami dan menguasai reaksi emosional kita. Ada baiknya kita selalu siap dengan respon alternatif, seperti , "Bagaimana hal ini terjadi?" Perkataan ini menekankan pada kejadiannya ketimbang pada anak. Ini juga tidak hanya membebaskan anak dari perasaan tidak berguna dan kegagalan, tetapi juga memberi ruangan buat pelajaran yang membangun. Dengan mendorong anak untuk membicarakan urutan peristiwa, bersama-sama kalian bisa melihat bagaimana satu hal menyebabkan hal lainnya dan mungkin menemukan cara bagaimana kalian dapat mengantisipasinya di masa depan.

Beberapa kecelakaan dapat dicegah dengan merencanakan sebelumnya dan dengan menetapkan batas-batas di awal sebuah proyek. Dalam sebagian besar kesempatan, anak-anak kita ingin menyenangkan kita, dan kita dapat mempermudahnya bagi mereka dengan mengatakan secara jelas apa yang kita inginkan di awal. Saran-saran kita hendaknya spesifik dan sesuai umur anak, dan harus dikatakan dengan cara yang menyediakan informasi kongkrit yang dapat digunakan anak untuk memberikan rambu-rambu pada perbuatannya.

Pada suatu hari hujan, Budi (4 tahun) memberi tahu ibu bahwa ia dan temannya ingin membuat binatang dengan lilin mainannya. Ibunya sedang sibuk mengurus surat-surat tagihan di dapur, dan tergoda untuk langsung bilang iya saja supaya anak-anak itu cepat pergi. Tetapi, ibu bangkit dan mengeluarkan sebuah tirai plastik lama yang disiapkannya untuk tujuan ini. Sambil membentangkan tirai itu di lantai, ia menjelaskan, "Duduk di tengah-tengah sini ya. Banyak tempat untuk kebun binatang kalian."

Sementara anak-anak itu meletakkan lilin mainan di atas tirai plastik, Budi bertanya,"Boleh pakai pisau dari dapur?"
"Nggak boleh ya. Pisau bukan untuk mainan. Kalau pemotong kue kering saja gimana?" jawab Ibu.
"Ya deh. Sendok juga ya?" tanya Budi.
"Boleh," kata Ibu, mengambilkan beberapa peralatan masak. "Ingat ya, kalian juga harus bantu bersih-bersih habis main."

Beberapa menit yang diinvestasikan pada awal proyek tadi merupakan gangguan bagi ibu Budi, tetapi telah menyelamatkannya dari mengorek-ngorek lilin dari atas karpet sembari menahan diri untuk tidak mengomeli anak-anak. Keterlibatan awalnya juga memberikan Budi kesempatan untuk bernegosiasi meminta peralatan dapur yang ia inginkan. Meskipun pendekatan ini makan waktu, muncul pilihan-pilihan dan anak-anak berlatih membuat keputusan yang baik. Memiliki suara aktif dalam keputusan sehari-hari juga membantu mereka membangun imej diri sebagai orang yang kompeten.

Kenyataannya, kita tidak selalu punya waktu dan prakiraan guna menangani hal-hal secara hati-hati seperti keinginan kita. Suatu hari seorang teman mendesak anak perempuannya Kiki agar cepat-cepat keluar rumah untuk pergi bersama, termasuk mengantarkan Kiki ke salon. Di tengah jalan, ibu berkata, "Ayo cepat dong, Sayang. Kamu kan harus potong rambut. Kita sudah hampir telat nih." Tiba-tiba, entah kenapa, Kiki menangis melolong-lolong tidak mau dipotong rambutnya. Karena frustasi, ibunya mengatakan Kiki "susah diatur." Kiki kesal sekali sehingga tidak mau bicara. Bagi seorang dewasa, ibu tidak tampak mengkritik, tetapi pesan yang didengar Kiki adalah,"Kamu tidak baik karena susah diatur."

Ketika Kiki akhirnya tenang, ia dapat menjelaskan bahwa ia ingin memanjangkan poninya dan tidak ingin poninya dipotong. Ibu, setelah menyadari sebabnya, memandang Kiki dengan rasa tidak percaya. "Ya Sayang," katanya, "Nanti kita bilang ke salon ya biar ponimu nggak dipotong." Seandainya ibu berpikir untuk membicarakan tentang acara potong rambut pada waktu sarapan, ia dan Kiki tidak harus ribut-ribut.

Tentu saja, tidak perduli betapa luwes dan sabarnya kita, atau betapa kita mengantisipasi kejadian, akan ada saat-saat kita berselisih dengan anak-anak. Masalahnya menjadi bagaimana kita menyelesaikan konflik dengan kerusakan sesedikit mungkin. Tidak ada yang menang dalam kebuntuan. Ibu Kiki menghargai hak anaknya untuk memutuskan model rambut yang diinginkannya.

Pembagian kendali tentang hal-hal kecil membangun rasa percaya bagi perundingan di masa depan mengenai keputusan yang lebih besar dengan tumbuhnya anak kita menjadi remaja. Jika anak-anak tumbuh dengan mengetahui bahwa kita akan mendengar mereka dan mempertimbangkan gagasan mereka dengan penghargaan, mereka akan lebih bersedia bicara pada kita dan bekerja sama untuk menyelesaikan masalah.

Cara Kita Berbicara
Sering kali ketika kita mengomeli anak-anak, tujuan kita adalah mendorong mereka menjadi lebih baik, melakukan hal dengan lebih baik. Barangkali beginilah cara orang tua kita berkomunikasi dengan kita ketika kita kecil. Atau mungkin kita kembali mengkritik mereka ketika kita capek atau stres.

Tetapi anak-anak tidak menghadapi kritik sebagai hal yang membangun. Bagi anak-anak, kritikan lebih terasa sebagai serangan pribadi dan kritikan cenderung membuatnya mempertahankan diri daripada bekerja sama. Anak-anak yang lebih kecil biasanya kesulitan memahami bahwa perbuatan merekalah yang tidak baik, dan bukannya mereka sendiri.

Tetapi, kita masih bisa mengatakan pada anak-anak kita tidak menyukai perbuatan mereka. Jika kita mengambil waktu sejenak untuk mempertimbangkan pengaruh kata-kata kita, kita dapat mengatakan apa yang perlu tanpa meremehkan jati diri anak. Apa pun yang terjadi, kita dapat memberitahukan pada anak bahwa ia baik, meskipun perbuatan sebelumnya tidak.

Segera setelah ayah Wawan (8 tahun) mendengar bunyi sesuatu pecah, ia langsung tahu apa yang terjadi. Ayah berjalan dengan tenang dari dapur ke jendela ruang tamu, di mana pecahan beling bertebaran di lantai. Anak laki-lakinya berdiri di luar dengan wajah terkejut dan takut. Pemukul kasti tergeletak di lapangan dekat rumah, bola menggelinding di lantai ruang tamu.
"Sekarang kamu tahu mengapa peraturannya 'Dilarang main bola dekat rumah?' Ayah bertanya. Wawan menunduk. "Wawan tahu, Ayah. Tadi sudah hati-hati kok." "Nggak, Wan. peraturannya bukan tentang hati-hati." Ayah tegas. "Peraturannya tentang jarak."
"Maaf," kata Wawan, berharap pembicaraan itu selesai.

Ayah memandangnya serius. "Nah, mari kita hitung berapa ongkos memperbaiki jendela, dan kita bisa hitung berapa lama kamu bisa membayarnya dari uang sakumu."
Kata-kata itu meresap lambat-lambat sampai Wawan menyadari konsekuensi perbuatannya. Ayah melihat bahu anaknya merosot dengan berat tanggung jawabnya.

"Kamu tahu, Kakek membuat Ayah membayar untuk jendela yang Ayah pecahkan ketika Ayah seumurmu," ia mengaku pada anaknnya, yang sekarang mendengarkan dengan perhatian.
"Masa?"
"Dan makan waktu lama juga." Ayah berkata. "Ayah bilangin nih. Sejak itu Ayah tidak pernah memecahkan kaca lagi. Sekarang pergi ambil sapu dan serokan. Kita bersihkan pecahan kaca ini."

Terlalu banyak tekanan pada hukuman dan omelan menciptakan jarak, bukan kebersamaan. Sejujurnya sih, kita semua berbuat salah, dan kecelakaan bisa terjadi. Menanggapi dengan pesan-pesan yang menolong pada saat-saat begini mempermudah anak-anak untuk belajar melalui pengalaman, untuk memikirkan hubungan antara apa yang mereka lakukan dan apa yang terjadi, serta untuk menentukan apa yang harus mereka lakukan guna memulihkan situasi.

Ngomel, ngomel, ngomel
Kita mungkin tidak menyadarinya, tetapi omelan dan keluhan yang kronis adalah bentuk halus dari kritikan. Pesan yang mendasari omelan adalah, "Aku tidak percaya kamu akan ingat melakukan sesuatu atau berlaku dengan baik." Mengharapkan yang terburuk dari anak-anak kita tidak menolong mereka dan juga tidak menghasilkan apa-apa bagi kita. Anak-anak kecil sekali pun dengan cepat belajar mengacuhkan ucapan yang diulang-ulang. Remaja terkenal dengan kemampuan mereka "menjadi tuli" baik dengan headphone atau pun tidak.

Strategi yang lebih baik daripada mengomel adalah mengatur rutinitas yang dapat diperkirakan dengan harapan yang wajar. Contoh, saya sering menyarankan pada orang tua bahwa satu cara yang sederhana tetapi efektif untuk menghindari kebiasaan mengatakan "jangan lupa" adalah berhenti menekankan lupa dan mulai menekankan mengingat. Katakan pada anak-anak apa yang Anda ingin ia ingat. "Ingat, taruh kaus kaki di dalam keranjang cucian" dan "Ingat, boneka ini tetap di dalam rumah."

Ini membiasakan suasana mendorong yang penting bagi segala usia dan dapat membuat perbedaan besar di dunia. Ini terutama menolong bagi anak-anak lebih kecil yang baru saja belajar tentang fungsi dalam kehidupan keluarga. Di atas segalanya, berikan penghargaan pada prestasi mereka. "Wah kamu ingat membereskan mainan sendiri! Kamu anak baik yang penolong ya." Dengan pernyataan positif semacam ini, Anda memberitahukan pada anak Anda apa yang Anda harapkan dan juga memberikan semangat baginya.

Seperti mengomel, mengeluh juga cara tidak efektif untuk mengupayakan perubahan dan bukan contoh bermanfaat untuk diajarkan pada anak-anak. Mengeluh memusatkan pada kesulitan, kekurangan, dan kekecewaan, bukan solusi. Kita tidak ingin anak-anak kita belajar melihat dunia dengan perspektif pasif dan negatif ini. Kita tidak ingin mereka berpikir cara menanggapi masalah adalah mengeluh. Hindari menjadikan keluhan sebagai ganti bertindak. Sebaliknya, cobalah mengkhayalkan sebanyak mungkin solusi kreatif sebanyak mungkin, dan ajaklah anak-anak memikirkan solusi pula.

Pikirkan tentang betapa banyaknya Anda mengeluh dalam kehidupan sehari-hari. Mungkin mengejutkan ketika menyadari sering sekali kita mengeluh, tentang situasi kerja kita, tentang orang-orang lain dalam hidup kita, atau tentang cuaca. Kendati kita mungkin perlu mengeluh sesekali, ingatlah bahwa tidak hanya anak-anak, orang tua pun tidak boleh rewel.

Mengeluh tentang pasangan kita terutama bersifat merusak. Keluhan ini dapat menyebabkan anak-anak merasa harus berpihak pada salah satu orang tua, menempatkan mereka di tengah-tengah pertikaian perkawinan. Ini posisi yang mustahil bagi anak-anak, karena mereka tercabik antara kesetiaan pada kedua orang tua. Sama halnya, mengeluh tentang kakek nenek anak-anak juga menempatkan anak-anak kita pada tempat yang sulit.

Keluhan kita tentang mertua perlu dibahas secara pribadi dan dipisahkan dari hubungan ajaib anak-anak dengan kakek neneknya. Anak-anak kita nanti akan segera menemukan kekurangan pada keluarga. Mari hindari membebani mereka dengan kemarahan kita yang tidak pada tempatnya. Tambahan, anak-anak perlu melihat semua orang dewasa di dalam keluarga saling memperlakukan dengan respek baik dalam kata-kata maupun perbuatan. Ingatlah bahwa anak-anak belajar tentang hubungan dan bagaimana orang-orang yang saling mencintai saling akur dengan cara mengamati interaksi kita.

Menikmati Cahaya Anak
Seperti anak-anak kita terus belajar dari kita, kita dapat terus belajar dari mereka. Setelah acara jalan-jalan keluarga, beberapa teman saya memusatkan perhatian untuk menyuruh anak-anak laki-laki mereka yang berusia tujuh dan delapan tahun keluar mobil dan tidur tanpa ribut-ribut. Tidak ada satu pun anak yang mau tidur, seperti biasa. Sambil berjalan menuju rumah, anak termuda bertanya, "Boleh nggak kita menonton bintang sebentar?"

Orang tuanya berhenti. Mereka punya pilihan. Mereka bisa berkata, "Oh kamu kok suka sekali begadang. Jangan susah diatur dong. Sudah malam. Waktunya tidur."Tetapi mereka tidak bilang begitu. Malam itu, mereka menggunakan beberapa menit untuk menikmati langit malam dan pantulan cahayanya pada wajah anak-anak mereka.

"Menonton bintang" secara kualitatif berbeda dengan "melihat bintang". Orang dewasa menengadah, melihat, dan segera beralih pada "hal-hal yang harus dikerjakan."Anak-anak menonton bintang-bintang dengan takjub dan berharap. Mengizinkan anak-anak untuk mengajari kita cara baru melihat dunia dapat menciptakan pengalaman keluarga yang dinamis di mana kita semua dapat belajar dan tumbuh bersama.

Sumber : fahima