Children Learn What They Live (Terjemahan Buku) Bagian 3
Bab 3. Jika Anak-anak Dibesarkan Dengan Rasa Takut, Mereka Belajar Jadi Pengecut
Anak-anak senang bermain dengan bumbu rasa takut. Mereka bersenang-senang dengan permainan hantu-hantuan dan senang dengan cerita-cerita hantu dan film horor. Saya ingat ketika saya kecil, saya biasa pergi kerumah teman setiap Jumat malam. Kami berkumpul mengeliling radio dengan lampu dimatikan. Kami mendengarkan sebuah acara berjudul "Kisah-kisah Nenek Sihir" yang mungkin kedengarannya tidak seram zaman sekarang, tetapi bagi kami menakutkan. Bagian paling sulit dan juga paling menegangkan adalah berpura-pura tidak takut ketika kami berjalan pulang dalam kegelapan setelah acara itu usai. Kami mengalami derasnya adrenalin karena rasa takut mendebarkan, membayangkan apa yang menunggu di bayang-bayang. Sementara itu kami mengetahui dalam lubuk hati bahwa kami aman sama sekali dan akan segera tiba di rumah yang nyaman dan terang-benderang.
Hidup dalam rasa takut yang nyata merupakan cerita berbeda, baik itu berupa ancama kekerasan fisik, penganiayaan psikis, penelantaran, penyakit parah, atau rasa takut yang tampaknya sepele seperti adanya anak jahat di dekat rumah atau monster di bawah tempat tidur. Hidup dengan rasa takut yang nyata setiap hari menghancurkan rasa percaya diri anak dan perasaan selamatnya yang mendasar. Rasa takut menggoyahkan lingkungan mendukung yang dibutuhkan anak untuk tumbuh, berkembang, dan belajar, menyebabkan ia dengan perasaan tidak aman yang bercokol, rasa was-was menyeluruh yang dapat merusak jalannya berhubungan dengan orang-orang dan ketika menghadapi situasi baru.
Hal-hal Yang Seram di Malam Hari
Banyak sumber-sumber ketakutan yang nyata bagi kehidupan anak-anak mengherankan orang tua mereka. Anak-anak dapat sungguh-sungguh takut pada hal-hal yang biasa saja bagi orang dewasa, misalnya pada anjing baru di lingkungan atau pohon besar tua yang dahan-dahannya mati. Mereka bisa takut karena ungkapan tertentu. Seorang anak tiga tahun bertanya pada ibunya, "Ibu, apakah badan Ibu akan hancur? Ibu bilang begitu pada Bibi." Kadang-kadang anak kecil memahami ungkapan secara literal. Anak kecil ini membutuhkan penjelasan dari ibu tentang maksud ungkapannya, dan juga sebuah pelukan hangat untuk menenangkannya.
Tidak peduli apa alasannya, jika anak Anda takut, situasi itu perlu ditanggapi serius. Rasa takut tergantung pada mata pemiliknya, dan kita perlu melihat dunia dari perspektif anak kita. Mengatakan hal-hal seperti, "Jangan konyol," "Itu nggak ada apa-apanya," "Jangan seperti anak kecil," "Jangan cengeng,"hanya menyepelekan anak itu, mendorong rasa takutnya ke bawah tanah di mana rasa takut itu terus tumbuh.
Dalam kelompok belajar orang tua yang saya kelola, peserta sering bertanya pada saya, "Bagaimana saya tahu perbedaan antara anak yang takut dan anak yang cuma cari perhatian?" Jawabannya, Anda memang tidak tahu. Orang tua tidak perlu khawatir berlebihan mengenai apakah mereka dipermainkan oleh kebutuhan emosional anak. Kebutuhan anak Anda akan perhatian adalah sama pentingnya dengan kebutuhannya makan atau tidur. Dan kadang-kadang anak-anak merasa takut sekaligus butuh perhatian.
Adam, 3 tahun, merupakan contoh baik. Keluarganya baru saja pindah ke rumah baru, ia baru saja masuk TK, dan adik bayinya baru saja lahir. Semua ini merupakan perkembangan membahagiakan bagi orang tuanya. Tetapi bagi Adam, ia merasa hidupnya berakhir. Ia merasa dunianya jungkir balik. Suatu hari, ketika ibu sedang pergi, Adam datang ke ayahnya dengan permintaan yang tidak biasa.
"Aku takut. Lindungi aku," tangisnya.
Ayahnya mungkin menjawab,"Melindungi kamu? Dari apa? Kamu kan sudah jadi kakak sekarang. Kamu tidak boleh penakut, dong," dan menyuruh Adam kembali ke tempat tidurnya sendirian.
Tetapi, ayah Adam bijaksana. Ia mengerti. "Melindungimu? Tentu saja, tidak masalah," jawabnya. "Mari tidur di sebelah Ayah. Kita akan aman bersama-sama." Kata-katanya yang pengertian dan kedekatan fisik memberikan Adam pelipur yang ia butuhkan untuk melalui saat-saat sulit dan maju terus.
Orang tua bahkan bisa secara ajaib menyingkirkan rasa takut anak-anak yang lebih besar. Dua bersaudara, umur enam dan delapan, merasa ketakutan dengan hantu di loteng. Ibu mereka menyimpan sapu tua dalam lemari bajunya untuk saat-saat seperti itu. Apabila anak-anak menerobos masuk ke kamarnya, ketakutan dan melotot, ibu akan dengan tenang mengambil sapu itu dari lemari dan berlari mengelilingi rumah sambil memutar-mutar sapu seperti senjata berbahaya, dan berteriak sekuat tenaga. Anak-anak akan lari mengikutinya, tertawa-tawa senang dan yakit bahwa ibu sedang mengusir semua makhluk mengerikan keluar dari rumah.
Ketika Keajaiban Tidak Berdaya
Tentu saja, ada waktu-waktu ketika tidak ada jalan ajaib untuk melindungi anak-anak dari rasa takutnya. Tidak ada sapu atau pelukan hangat yang akan menghapus rasa takut atau kesedihan yang datang ketika keluarga menderita krisis nyata. Saat-saat terburuk bagi anak-anak adalah ketika struktur atau rutinitas keluarga terganggu secara fundamental. Anak-anak bergantung pada irama kehidupan keluarga yang tetap konsisten, dan ketika sebuah krisis terjadi, mereka dapat merasa dunia mereka berantakan.
Selain kematian orang tua, perceraian barangkali hal paling menakutkan dalam hidup anak. Banyak anak yang hidup dengan ketakutan akan perceraian, baik rasa takut itu realistis atau hanya bayangan mereka. Mendengarkan orang tua mengeluh tentang pasangannya meningkatkan rasa takut orang tuanya akan bercerai di dalam pikiran anak. Di balik rasa takut akan perceraian adalah rasa takut anak ia akan ditelantarkan. Anak percaya jika salah satu orang tua pergi, ia juga akan ditinggalkan.
Selama perceraian, anak-anak merasa mereka kehilangan kendali atas dunia mereka. Salah satu tantangan terbesar bagi orang tua yang bercerai adalah memilih untuk bertindak sesuai kepentingan terbaik bagi anak, tidak perduli betapa mereka terluka, frustrasi, dan marah satu sama lain. Anak-anak dengan sendirinya terjebak di tengah-tengah, sehingga terserah pada orang tua untuk menyatakan damai jika bersangkutan soal anak. Ini lebih mudah dikatakan daripada dilakukan, terutama ketika orang tua sedang marah dan bertengkar. Tetapi ini juga merupakan waktu di mana anak Anda perlu pelipur bahwa apa pun yang terjadi, kalian berdua masih orang tuanya, dan kalian bersama-sama akan merawat anak-anak.
Setiap krisis keluarga dirasakan oleh anak-anak meskipun mereka tidak sepenuhnya mengerti. Ketika mencuri dengar ayahnya akan dipecat, Lina ketakutan bahwa keluarga mereka akan jadi gelandangan dan kelaparan. Ayah menjelaskan padanya, "Kita akan cari cara agar semua beres. Kita mungkin harus memotong pengeluaran untuk sementara, tetapi kita akan bertahan." Perkataan ayah memberikan Lina kesempatan untuk bertindak berani dan menolong keluarga. "Kalau begitu aku tidak butuh sepatu baru. Yang lama masih bisa dipakai," katanya.
Rasa Takut Kita Bagi Anak-Anak
Anak-anak menyerap rasa takut orang tua, seringkali tanpa kita sadari. Sebaiknya kita mulai menyadari betapa seringnya kita membuat pernyataan yang diawali dengan "Aku takut..." atau "Jangan-jangan..." atau "Mungkin orang itu nggak akan..." atau "Ibu khawatir...". Jika anak-anak secara rutin mendengar komentar-komentar kekhawatiran, mereka cenderung menumbuhkan pola berpikir khawatir. Harapan-harapan dibentuk melalui pengulangan. Pemikiran negatif juga dapat dengan cepat menjadi lingkaran setan. Kita semua pernah mengenal orang-orang yang terjebak dalam spiral pemikiran negatif. "Aku mengharapkan yang terburuk, dan entah kenapa aku jadi sial melulu."
Sayang sekali, orang tua zaman sekarang memiliki lebih banyak ketakutan bagi anak-anak daripada sebelumnya. Kita menghadapi dilema untuk memikirkan bagaimana melindungi dan memperingati anak-anak terhadap bahaya tanpa menanamkan rasa takut berlebihan pada mereka. Contoh, kita ingin anak-anak berhati-hati dengan orang asing tetapi jangan sampai menganggap semua orang yang tidak mereka kenal jahat atau akan mencederai mereka. Kita ingin mengawasi mereka setiap saat, tetapi jangan sampai merasa tidak berdaya jika kita tidak ada di sisi mereka. Membesarkan anak agar percaya diri dan pada saat sama berupaya sebaik mungkin agar mereka tidak terancam bahaya merupakan tantangan besar.
Tidak ada jawaban praktis untuk dilema ini. Orang tua harus menimbang sendiri bagaimana menjawab pertanyaan anak, seberapa besar kebebasan dapat diberikan pada anak, dan pada usia berapa tahun. Ketika Alisa, 4 tahun, minta izin bermain ke taman, dan karena akan ada orang-orang tidak dikenal di sana, ibunya menjawab dengan tenang, "Ya, Alisa. Ibu akan ada bersama kamu dan menjagamu." Ketika Ken, 10 tahun, mengumumkan bahwa ia ingin jalan ke sekolah sendirian, orang tuanya harus menyeimbangkan rasa takut mereka tentang anaknya yang sendirian di jalan raya dengan keinginan mereka untuk menumbuhkan kemandirian anaknya.
Rasa takut lainnya sebagai orang tua, adalah anak-anak akan menderita seperti kita di usia mereka. Memasukkan jati diri kita ke dalam diri anak (over identifikasi) bisa mengarahkan kita berlaku tidak benar. Ayah Cipto sangat bersemangat soal sepak bola menyebabkan orang-orang sebal dengan obsesinya -dari istrinya, pelatih, hingga anaknya yang berumur tujuh tahun. Ayahnya menjelaskan pada saya begini. "Saya tidak atletik ketika seumur Cipto. Saya ingat selalu jadi anak terakhir yang dipilih masuk tim. Saya sedih sekali. Saya takut hal yang sama akan terjadi pada Cipto."
Cipto perlu diizinkan untuk menjelajah kemampuan atletiknya sendiri tanpa beban kenangan masa lalu ayahnya. Singkatnya, ayah perlu mundur dan memberikan anaknya kesempatan memiliki pengalamannya sendiri. Kita harus ingat anak-anak berbeda dengan kita, dan mereka punya hak menderita kesedihan mereka sendiri.
Rasa Takut Sehari-hari
Anak-anak hidup dalam dunia berbeda dengan orang dewasa. Mereka tidak selalu berbicara tentang apa yang terjadi. Mudah bagi orang tua untuk tidak menyadari hal-hal yang menakutkan anak-anak setiap hari. Contohnya, banyak anak-anak yang hidup dalam ancaman 'dikerjain' oleh anak-anak lain di sekolah, di lingkungan sekitar rumah, atau bahkan oleh saudara kandung di rumah. Mungkin mereka dipukuli, diancam, diejek, atau digoda. Anak-anak kecil mungkin tidak tahu bagaimana menyatakan rasa takut dan sakit hati mereka, dan anak-anak besar mungkin merasa mereka seharusnya bisa menangani masalah sendiri. Kita perlu menyediakan waktu untuk bertanya pada anak-anak bagaimana pergaulan mereka dengan anak-anak lain dan hidup mereka.
Ibu bertanya secara santai pada Andi, anaknya yang berusia 5 tahun, "Apa yang terjadi di sekolah hari ini?" (Pengaturan kata-kata semacam ini lebih menghasilkan banyak informasi daripada pertanyaan yang lebih luas seperti ,"Bagaimana sekolah hari ini?")
"Joni mengambil mobilku. Padahal aku sudah pegang duluan."
"Lalu apa yang terjadi?"
Andi menunduk dan bergumam, "Nggak ada. Aku nggak tahu musti gimana."
Sekarang, Ibu menyadari bahwa Joni menjadi momok bagi anaknya. Ibu mencoba menolong Andi menemukan cara menghadapi temannya itu. "Ibu bayangkan tidak enak rasanya Joni merampas mobilmu. Menurutmu apa yang harus kamu lakukan?"tanya Ibu, memberikan kesempatan untuk mencari cara baru menangani situasi sulit itu.
Andi menjawab mungkin ia akan merebut kembali mobilnya, melaporkan pada guru, bermain dengan mainan lain, menjauhi Joni, dan bergabung dengan teman-teman lain. Ibu tidak perlu memerintahkan Andi apa yang dia harus lakukan. Ia hanya perlu mendengar dan membantu Andi menjelajah berbagai alternatif selain "Aku nggak tahu musti gimana." Menolongnya juga bisa dengan bertanya,"Bagaimana akhir yang kamu inginkan?"
Andi mungkin menjawab, "Aku mau mobilku kembali."
Setelah anak menjelaskan apa yang ia inginkan, ia dapat mulai mengembangkan rencana membangun. "Aku pikir aku akan mengambil mobil-mobilan itu pagi-pagi sekali, dan jika Joni mencoba mengambilnya, aku akan bilang, 'Nggak boleh'"
Bagi banyak anak kecil, menghadapi situasi baru itu menakutkan. Hari pertama sekolah, hari pertama ke dokter gigi, pertama kali naik pesawat terbang dapat membuatnya kewalahan. Kita dapat menolong anak-anak melalui pengalaman penting ini dengan cara banyak-banyak memberikan dorongan dan dukungan. Menyatakan rasa percaya kita pada anak-anak merupakan cara yang baik sekali untuk mengajari mereka percaya pada diri mereka sendiri. Perhatikanlah reaksi fisik pada wajah dan sikap anak Anda ketika Anda mengatakan, "Kamu akan baik-baik saja. Saya tahu kamu bisa."
Anak-anak yang lebih kecil mungkin membutuhkan persiapan bagi situasi pertama kali, seperti mengunjungi ruangan kelas TK baru sebelum sekolah benar-benar mulai. Setelah ia menjelajah semua area belajar di kelas, ibunya bertanya, "Apa yang ingin kamu lakukan dulu?"
"Memberi makan ikan," jawab Sinta tanpa ragu, seolah-olah telah mengambil langkah besar membayangkan dirinya di sekolah.
Sumber rasa takut lain bagi beberapa anak adalah televisi dengan menu harian yang penuh kekerasan di berita, film, iklan, dan acara dramatis lain. Anak-anak kecil bisa saja tidak mampu membedakan kenyataan dan adegan fiktif, dan perlu dilindungi dari kedua hal ini. Anak-anak yang lebih besar bisa menonton kecelakaan, trauma, kekerasan, dan pembunuhan yang disajikan TV dan tidak terpengaruh, sementara ada pula anak-anak yang menjadi ketakutan dan terobsesi dengan adegan-adegan begitu. Kita perlu menilai kemampuan anak-anak untuk menangani kekerasan TV dan kemudian membatasi apa yang mereka tonton.
Semua Orang Merasa Takut.. Kadang-Kadang
Sebagai orang tua, kita ingin merasa kuat untuk anak-anak kita. Kita ingin mereka merasa mereka bisa mengharapkan kita agar membuat mereka merasa aman. Tetapi kita perlu memiliki keberanian untuk merasa rapuh dan berbagi saat-saat ketika kita sendiri merasa ketakutan seperti Singa Pengecut dalam Penyihir dari Oz. Kita semua merasa takut lagi dan lagi.
Yang membuat perbedaan, adalah bagaimana kita menangani rasa takut. Ini menolong anak-anak kita belajar bahwa kita manusia, dan bagian menjadi manusia adalah manusia tidak ada yang sempurna, dan kita semua butuh dukungan dan pelipur kadang-kadang. Rasanya luar biasa menenangkan ketika sebuah tangan kecil menepuk punggung kita di tengah sebuah pelukan.
Pipit, 8 tahun, tahu bahwa ibunya khawatir soal janji dengan dokter hari itu. Pipit tidak mengetahui detilnya, dan memang ia tidak harus tahu karena terlalu sulit untuk dimengerti anak-anak.Tetapi pagi itu, ketika Ibu memeluknya sebelum pergi sekolah, Pipitlah yang memeluk Ibu erat-erat untuk menghiburnya. Ibu merasakan perbedaan dalam pelukannya dan dengan wajah terkejut ia berkata, "Terima kasih, Pipit. Ini sangat menolong."
Anak-anak kita belajar menangani rasa takut mereka dengan mengamati bagaimana kita menangani rasa takut kita sendiri. Biarkan mereka melihat cara kita mencari dukungan dari pasangan kita, teman-teman, dan keluarga ketika kita membutuhkannya, dan bagaimana di saat lain kita menawarkan dukungan dan penghiburan sebagai balasan. Bagaimana kita mengenali perasaan dan menemukan solusi kreatif selama masa-masa sulit merupakan teladan bagi anak yang akan mereka ikuti ketika mereka menghadapi krisis mereka sendiri.
Sumber : fahima