Moga Menjadi Manfaat

Berharap menjadi Hamba-Nya yang terus menebar kebaikan... Menebar manfaat dan Ilmu... Semoga bisa menjadi amal baik tuk di akhirat nanti... Amin...

Monday, October 02, 2006

Rahasia Mengatasi Rasa Bosan si Balita


Bosan? Siapa pun pernah mengalaminya. Tapi, sangat mudah membuat anak ceria dan bersemangat kembali. Bagaimana caranya? Anak-anak adalah makhluk yang senantiasa ceria dan bersemangat. Mereka antusias menemukan hal-hal baru, mencari tahu rahasia alam. Anak-anak juga gemar melakukan suatu kegiatan berulang-ulang untuk mempelajari proses.


Namun, ada kalanya, mereka dihinggapi rasa bosan. Mereka jadi enggan melakukan eksplorasi dan rasa ingin tahunya seakan padam. Apa yang menyebabkan rasa bosan tiba-tiba menyerang balita? Bagaimana mengatasinya?

“Rasa bosan” itu penting
Rasa bosan adalah reaksi normal manusia pada umumnya, yang muncul saat melakukan kegiatan secara monoton. Memang tak semua orang mudah merasa bosan. Sebab, ada pula yang dikatakan para ahli memiliki ambang batas kejenuhan dan kebosanan yang cukup tinggi. Tentu inilah yang membedakan cara mengatasi jika bosan datang, terutama bila terjadi pada balita.

Manusia modern mengisi sebagian besar waktunya dengan kesibukan dan kerja. Dengan pola pendidikan masa kini, anak terbiasa disibukkan berbagai stimulasi, baik oleh lingkungan, maupun orang tua atau pengasuh. Padahal, anak tak selalu harus sibuk. Orang tua perlu juga mempertimbangkan agar si kecil beristirahat sejenak dari kegiatannya.

Menurut Hans Grothe , psikolog dan kontributor tetap majalah Eltern di Jerman, rasa bosan penting dalam kesehatan mental. Rasa bosan dapat dianalogikan sebagai sebuah “sistem alarm”, pemberi tanda bahaya. Fungsinya, untuk memberitahu yang bersangkutan bahwa dirinya butuh break sejenak.

Jika ini berkenaan dengan anak-anak, rasa bosannya bermanfaat bagi orang tua atau pengasuh. Sedikit ketidakaktifan (bersikap pasif) menurut berbagai studi, berguna untuk mengistirahatkan motor penggerak tubuh si kecil, yang sehari-hari tiada henti bereksplorasi. Momen tanpa kegiatan, penting bagi si balita. Namun jangan biarkan si pembosan menikmati “diam” dengan hanya menonton televisi.

Kenali dulu, baru atasi
Sejak bayi, rasa bosan dapat tiba-tiba datang dan mengganggu keceriaan si kecil. Pada bayi, rasa bosan muncul dalam bentuk kerewelan dan tangisan . Apabila tidak teratasi, rasa bosan dapat berubah menjadi frustrasi.

Bayi bosan terutama karena merasa kurang mampu meraih sesuatu atau tak dapat membuat orang lain memahami apa keinginannya. Sebuah studi di Jerman menunjukkan, hampir semua bayi merasakan kebosanan yang kronis.

Menghadapi rasa bosan bayi, orang tua perlu cermat bereaksi. Jika terlalu responsif menanggapi tangisnya, salah-salah ia menangkap bahwa kesepian, kesendirian dan rasa bosan adalah sesuatu yang menakutkan, sesuatu yang seharusnya tak menimpa siapa pun. Dengan begitu, bisa jadi, ia terbiasa menyerukan satu teriakan, dan bantuan segera ada di depan matanya.

Grothe menyarankan orang tua untuk melakukan cek dan ricek “Tengoklah secara diam-diam ke kamarnya untuk memastikan apakah si kecil baik-baik saja,” saran Grothe. Sebab, bisa saja anak berteriak hanya untuk mencari perhatian. Tetapi orang tua tak perlu ragu untuk segera memberi uluran tangan, apabila ia benar-benar membutuhkan.

Pada balita, orang tua dapat melibatkan anak untuk turut mencari jalan keluar. Anda dapat mengajarkan si balita mengenali sinyal yang diberikan oleh ‘sistem alarm' tadi. Anak-anak pembosan memiliki ‘sistem alarm' yang sangat peka. Oleh karenanya, mereka kerap menerima ‘tanda bahaya' setiap ada stimuli yang dapat memicu rasa bosan. Untuk itu, balita perlu diajarkan cara bereaksi, apabila menerima ‘tanda bahaya'.

Apabila anak Anda adalah anak yang mudah bosan, Anda perlu mengajarkan bahwa dalam setiap kegiatan terdapat sebuah kesenangan tersendiri . Selain itu, penting bagi orang tua menyadarkan anak bahwa kesenangan akan lebih besar diperolehnya jika kegiatan yang dilakukannya dirancang dan diciptakannya sendiri.

Berlatih mengusir rasa bosan
Menurut Grothe, orang tua masa kini perlu membekali anak-anak mereka dengan keterampilan atau seni memotivasi diri, bermain, serta belajar sendiri, dan juga bekerja mandiri. Bekal semacam ini tak tergantikan oleh mainan atau benda menyenangkan lainnya. Seolah harta berharga, keterampilan ini serupa alat antibosan yang membantu anak-anak ketika dihinggapi rasa jenuh. Jika mereka menguasainya, tak hanya masa kanak-kanaknya menjadi masa penuh kesenangan, bahkan juga di usia dewasanya nanti.

Sejak kapan orang tua perlu mengajarkan anak hal ini? “Sejak si kecil bayi. Ajak anak menemukan gagasan sederhana yang bisa dilakukan sendiri atau bersama orang lain,” ujar Grothe.

Untuk si 3 tahun, Grothe menyarankan orang tua mengajarkannya membangun menara dengan balok konstruksi atau kardus. Atau, menciptakan permainan baru tanpa merasa bosan. Ajarkan cara yang bervariasi. Kalau si kecil kehilangan minat untuk bermain, berikanlah kesempatan untuk mengatasi kebosanannya dengan membantu Anda. Misalnya, membereskan rumah, memasak, atau membuat kue kering.

Contoh sederhana dapat Anda lakukan saat anak meminta roti untuk sarapan. Sediakan roti tawar dan olesi margarin atau mentega. Selebihnya, biarkan si kecil berkreasi sendiri dengan mesyes , atau selai buah maupun kornet. Beri contoh, bagaimana cara menghias roti dengan selai atau cokelat oles. Sediakan juga variasi teman makan roti itu di meja dan biarkan anak bereksperimen. Apa yang tersedia di atas meja pun habis dilahap. Syaratnya, Anda tak terlalu banyak mengatur ini-itu untuk mencegah meja makan porak-poranda.

Jika si kecil sering Anda ajak ke tempat umum, misalnya apotik atau bank, bawalah selalu mainan atau benda kesayangannya. Biarkan ia berkreasi dengan memanfaatkan imajinasinya di sela kegiatan menunggu atau momen tanpa kegiatan utama.

Coba aktivitas outdoor !
Kegiatan di luar rumah selalu menggairahkan. Anda dapat melakukannya bersama si bayi dan balita. Ketika si kecil seharian tampak murung karena jenuh, tak bergairah bermain dan rewel, ajaklah ia jalan-jalan menghirup udara segar. Jika hari akan hujan, biarkan sedikit tetes hujan menyentuh jarinya. Atau, berkreasi dengan permainan yang bersifat intermeso sebagai selingan.. Misalnya, lomba lari di sekitar rumah, atau memungut dedaunan kering di taman rumah.

Setelah melakukan aktivitas fisik sebagai selingan, anak biasanya merasa lebih segar. Karena lebih rileks, ia biasanya memilih beristirahat tanpa melakukan kegiatan. Sebagai imbalan, Anda dapat menghadiahi anak dengan membacakan buku cerita pengantar istirahat sore.

Pilihan lain, apabila Anda menguasai beberapa teknik meditatif atau relaksasi, Grothe menyarankan mempraktekkan bersama anak. Latihan pernapasan dan relaksasi pikiran sejak dini membantu si kecil merasakan pengalaman berbeda. Untuk itu, sediakan bantal besar atau kasur kecil atau tumpukan selimut lembut sebagai alas berbaring, lalu putarkan musik instrumental yang menenangkan. Biarkan anak menemukan arti dan makna diri, saat ia tak melakukan apa-apa.

Ada 1001 aktivitas menarik yang dapat menjadi obat penawar kebosanan si kecil. Jika Anda berhasil memegang kunci rahasia ini, rasa bosan pada balita tak akan menjadi sumber kecemasan Anda dan si buah hati!

Andi Maerzyda A. D. Th.
Sumber : Ayah Bunda

Belajar "Benar" dan "Salah" (anak)

Pemahaman tentang “benar” dan “salah” akan membuat si kecil bisa berperilaku etis dan hidup harmonis.

“Aduh, kakak jangan tarik rambut Kiki. Sakit niiih…!”
“Nak, ini pensil, rautan dan penggaris punya siapa? Ini bukan punya kamu ‘ kan ? Kok dibawa pulang?”
“Awas Abang, jangan tindih kaki Adik ya. Adik masih bayi.”


Tentu ada berbagai perilaku salah dan dilarang yang lain, tapi tetap anak lakukan. Seringkali, anak jelas-jelas tahu, menyakiti atau mengambil barang milik orang lain itu “salah”, karena sudah ribuan kali Anda mengatakannya.
Tetapi, meski tahu tentang perilaku yang “benar”, ia tidak berperilaku sesuai pemahamannya akan yang “benar” itu. Sebab, mengetahui dan berperilaku “benar”, bagi anak merupakan dua hal yang berbeda.

Dua elemen kesadaran
Michele Borba , penulis buku Building Moral Intelligence; the Seven Essential Virtues that Teach Kids to do the Right Thing, mendefinisikan kesadaran ( conscience ) sebagai pengetahuan tentang yang “benar”, dan berperilaku berdasarkan pengetahuan akan yang “benar” itu. Terjadinya tawuran, vandalism, pelanggaran aturan, atau perusakan lingkungan, jika mengacu pada Borba, menunjukkan tidak adanya kesadaran pada seseorang atau sebagian masyarakat.

Ahli lain, Stanley Greenspan, MD , pengajar di Bagian Psikiatri, ilmu-ilmu Perilaku dan dokter anak dari Universitas George Washington, Amerika Serikat, menyebutkan dua elemen kesadaran.

Pertama, mengenali. Anak mengenali bahwa perilaku tertentu itu “salah”. Kedua, pengendalian diri. Anak mengendalikan diri untuk tidak melakukan hal yang “salah”. “Anak harus belajar hal ini sejak kecil,” saran Borba, peraih penghargaan untuk pendidikan moral anak. Kapan usia yang tepat? Dan usia berapa?

Usia kenal “benar- salah”

Menurut Sharon Lamb, Ed. D ., pengajar psikologi di Faith Michael College , Vermont, anak mulai paham “benar” dan “salah” pada usia 18 bulan. Anak usia ini dapat melarang diri sendiri saat ingin melakukan hal-hal yang salah. Mereka juga kerap berpura-pura akan melakukan sesuatu untuk memastikan bahwa tindakannya dilarang. Misalnya, pura-pura akan memukul ibu, atau pura-pura akan melempar barang.

Di usia 2 tahun, anak-anak mulai mengidentifikasi diri dengan orang tuanya. Usahanya melakukan hal yang benar, bertujuan untuk mendapatkan pujian dan senyuman dari orang tua. Hadiah seperti ini memperkuat proses identifikasinya.

Keinginan anak untuk diterima oleh lingkungan, mendorongnya menginternalisasi perilaku yang benar. Mereka memang banyak belajar tentang yang benar dan yang salah, tapi perilaku mereka masih berupa hasil tanggapan orang tuanya. Jadi, meski mereka tahu hal yang benar, belum tentu mereka ingin melakukannya.

Baru pada usia antara 3 sampai 5 tahun, menurut Greenspan, anak mulai mengembangkan suara hati, yang disebut kesadaran.


Tahap perkembangan kesadaran
Ada tiga tahap perkembangan kesadaran si kecil yang dapat dijadikan patokan sesuai usianya:

Usia 18 - 36 bulan: Perilaku Menyenangkan
Tahap ini ditandai saat anak melakukan apa saja yang menyenangkan dan menghindari hukuman. Anak belum punya dorongan dari dalam dirinya untuk melakukan hal yang benar. Anak-anak yang tidak mendapat sentuhan dan perlakuan yang tepat dari orang tuanya, akan berhenti pada tahap ini. Mereka tidak akan mempunyai dorongan untuk melakukan yang benar.
Mengembangkan kesadaran pada anak usia ini perlu menggunakan reward and punishment . Hindarkan anak dari hal-hal yang berbahaya. Misalnya, listrik, disepencer air, atau kompor; agar ia tidak merasa terlalu dibatasi. Ini karena anak-anak usia ini belum paham penjelasan. Tindakan nyata lebih dibutuhkan.

Usia 3 – 7 tahun: Malu dikritik
Anak usia ini merasa malu bila dikritik atau dihukum. Pada tahap ini, anak tidak memusatkan perhatian pada akibat perilakunya bagi orang lain, tetapi lebih untuk menghindarinya dari rasa malu. Jadi, bila ia meminta maaf, itu hanya untuk menghindari rasa malu, tidak untuk mengubah perilaku.
Untuk mengembangkan kesadaran anak usia ini, komunikasikan harapan Anda dan kebutuhan orang lain. Misalnya, anak dapat dilatih meminta maaf., jika ia berperilaku yang merugikan orang lain. Kembangkan pula sikap empati melalui diskusi tentang kebutuhan emosi orang lain. Misalnya, “Kalau kamu dipukul temanmu, kamu sedih enggak ? Jadi, kalau Feli kamu pukul, dia sedih enggak ya?”
Anak tak perlu dihukum. Gunakan konsekuensi logis untuk mengoreksi kesalahannya. Misalnya, “Kamu tadi dipukul Feli, karena kamu memukul duluan. Sakit ‘ kan ?” Berikan alasan yang jelas, mengapa perilaku salah tidak boleh dilakukan.

Usia 7 – 11 tahun: Menyenangkan diri sendiri dan orang lain
Anak usia ini ingin berperilaku yang dapat menyenangkan diri sendiri dan orang lain. Ketika anak menyakiti orang lain, ia merasa bersalah dan ingin mengubah perilakunya. Anak usia ini berusaha memenuhi kebutuhannya tanpa menyakiti orang lain. Bila anak hidup dalam lingkungan yang baik, di usia ini ia berada pada tahap dimana ia sudah dapat menerima saat perilakunya dinyatakan salah.
Untuk menumbuhkan kesadaran anak usia ini, orang tua dituntut terampil bernegosiasi. Ungkapkan harapan Anda tentang perilaku apa yang Anda ingin ia lakukan. Anak usia ini sangat senang diajak berdiskusi. Mereka pun dapat memperoleh hadiah dari diri sendiri, yaitu saat mereka melihat orang lain senang.

Mengenali dan memahami dengan tepat tahap perkembangan kesadaran ini, dapat menjadi langkah awal yang penting dalam upaya mendidik anak berperilaku etis dan hidup harmonis.

Pentingnya Kedekatan Orang Tua - Anak

Menumbuhkembangkan kesadaran anak butuh waktu lama. Kunci utamanya adalah memelihara kedekatan dengan anak. Kedekatan melandasi pemberian disiplin dan pembatasan pada anak. Tanpa kedekatan, orang tua tidak akan dipercaya anak. Si kecil pun akan merasa pembatasan sebagai penolakan terhadap dirinya.

Hati-Hati Perilaku Anda!

Berbagai penelitian mengungkapkan bahwa praktek pengasuhan anak dalam lingkungan yang kondusif dan gaya orang tua sebagai pendidik moral memberi peran penting dalam menumbuhkan perilaku etis. Apa yang orang tua lakukan sehari-hari terhadap tetangga, pembantu rumah tangga, binatang peliharaan, pilihan bacaan, pilihan tayangan televisi, dan tanggapan Anda terhadap masalah moral seperti anak berbohong pada teman, diperhatikan dan dipelajari anak dengan sungguh-sungguh. Jadi, hati-hatilah dalam berperilaku!

Sumber : Ayah Bunda

BATITA anda TERLAMBAT bicara ???


Kalau Anda peka, naluri Anda bisa cepat mendeteksi gangguan perkembangan bicara si kecil. Apa saja sih gejalanya? Seringkali, Anda baru buru-buru ke dokter ketika si 18 bulan atau 2 tahun belum juga bicara. Padahal, sebenarnya ini sudah agak terlambat. Menurut d r. I.G. Ayu Partiwi Surjadi, Sp.A, MARS , Direktur Klinik Perkembangan Anak RS Bunda, Jakarta, “Pada tiga tahun pertama kehidupan, otak adalah organ yang sangat pesat tumbuh kembangnya. Nah, periode ini dapat dimanfaatkan untuk melakukan stimulasi, seandainya si kecil mengalami gangguan tumbuh kembang. Makanya, deteksi dini sangatlah penting.”



12 bulan pertama yang penting
Bicara adalah tahap perkembangan yang telah dimulai sejak bayi. Dan, tahap bicara mesti diperhatikan sedini mungkin, karena ternyata dapat dijadikan parameter ada tidaknya gangguan perkembangan pada anak. “Tentu saja, tanpa mengabaikan tahap-tahap perkembangan lain, seperti motor kasar-halus dan sosialisasi/interaksi, yang punya peran penting juga dalam menentukan optimal tidaknya perkembangan anak,” kata dr. Partiwi.

Benarkah gangguan bicara banyak ditemukan? Penelitian yang dilakukan di Klinik Perkembangan Anak, RS Bunda, Jakarta, pada tahun 2003 terhadap sekitar 60 orang anak (hanya sebagian kecil saja anak yang datang pada usia kurang dari 1 tahun) menunjukkan, belum bicara merupakan keluhan sebagian besar orang tua yang pada akhirnya didiagnosis sebagai Gangguan Perkembangan Multisistem ( Multisystem Developmental Disorder s/MSDD). Nah, gangguan ini adalah salah satu bentuk kelainan perkembangan yang muncul dalam bentuk gangguan relasi (berinteraksi) dan komunikasi yang akhir-akhir ini tampaknya terus meningkat.

Meski begitu janganlah terlalu cemas. Kegagalan dalam relasi dan komunikasi pada si 0-3 tahun dianggap sebagai kondisi yang masih dapat berubah dan tumbuh. Hanya saja, sulit memprediksi mana yang bisa normal perkembangannya dan mana yang akan mengalami gangguan. Jadi, harus bagaimana?

“Anak-anak yang diteliti tahun 2003 itu ternyata sejak bayi terlalu diam alias tidak mengoceh sesering bayi normal. Makanya, 12 bulan pertama kehidupan anak merupakan masa yang paling penting untuk mendeteksi tumbuh kembang bicaranya. Jadi, bila Anda ke dokter, sebaiknya bukan sekadar untuk imunisasi saja,” katanya lagi.

Jangan abaikan insting
Sebenarnya, bicara atau berkomunikasi sudah dimulai sejak masa bayi. Normalnya, bayi akan menangis dan bergerak. Nah, Anda biasanya belajar bereaksi terhadap tangisan dan gerakannya, sehingga terjadilah interaksi. Melalui pengalaman berinteraksi inilah, bayi akan belajar bahwa sikap Anda akan terpengaruh oleh tangisannya. Interaksi serupa akan terjadi, jika ia mengeluarkan suara. Jadi, aktivitas tersebut memang berpengaruh dalam perkembangan bicara dan bahasa balita.

Dengan mengerti tahap bicara si kecil, diharapkan gangguan bicara dapat segera ditemukan. Tidak seperti yang umum terjadi saat ini. Para o rang tua mempertanyakan mengapa anaknya belum juga berbicara. Padahal, sebenarnya yang dimaksud adalah mengapa si kecil belum berbahasa ekspresif (lihat boks “Aneka Jenis Bahasa”).

“Sebelumnya, anak sudah melalui tahap bahasa reseptif dan bahasa visual. Kedua bahasa ini sebenarnya mirip. Apa bedanya? Reseptif adalah bagaimana Anda memahami perkataan balita, sedangkan bahasa visual atau bahasa tubuh adalah bagaimana Anda mengerti bahasa si kecil melalui sikap tubuh atau ekspresi mukanya. Sebagai catatan, bahasa visual dan bahasa reseptif merupakan salah satu tahap bicara yang dapat dipakai untuk mendeteksi apakah si kecil terlambat bicara atau tidak, sebelum bahasa ekspresifnya timbul,” jelas dr. Partiwi.

Dokter anak kelahiran Singaraja, Bali ini kembali mengingatkan, “Yang penting, sebaiknya Anda tidak mengabaikan naluri Anda. Begitu merasa ada sesuatu pada si kecil, segeralah bawa ke dokter. Beberapa penelitian telah membuktikan ketajaman naluri para orang tua, sehingga dokter tidak akan mengabaikannya begitu saja. Mungkin sekali kecurigaan Anda tidak bisa dipastikan kebenarannya hanya dalam satu kali pertemuan saja. Dokter mungkin saja meminta Anda untuk datang 1 atau 3 bulan lagi.”

Second opinion boleh , asal ...
Pada prinsipnya, semakin dini keterlambatan bicara anak ditangani, semakin bagus kemungkinan membaiknya. Ini tergantung pada kelainan apa yang jadi dasar gangguan perkembangan si kecil. Partiwi memberi contoh anak dengan kelainan gangguan pendengaran. Begitu diberi alat bantu dengar, maka gangguan perkembangan bicaranya akan segera teratasi. Sebaliknya, anak dengan MSDD atau autis, mungkin akan butuh waktu lebih lama penanganannya.

Lalu, kendala apa yang paling sering terjadi? “Kejenuhan Anda, sehingga upaya penanganan anak berhenti di tengah jalan. Padahal, hasilnya pasti kurang baik bila upaya tidak dilakukan secara konsiten. Hal ini biasanya dialami orang tua dari anak dengan kelainan yang butuh waktu lama untuk menanganinya.”

Ia melanjutkan, “ Selain jenuh, kadang Anda juga bingung menghadapi banyaknya metode penyembuhan atau terapi yang ada saat ini . Sebenarnya, boleh-boleh saja Anda mencari second opinion, asal ada yang baik kerja sama antara dokter pertama dan dokter kedua. Anda tak perlu takut berterus terang pada dokter pertama nantinya. Dan lagi, second opinion itu bagus dan merupakan hak Anda sebagai orang tua. Pastikan jalan keluar yang terbaik bagi si buah hati tercinta.”

Ini Dia Penyebabnya

• Gangguan pendengaran
• Autisme
• Retardasi mental (keterbelakangan mental)
• Bilingual (pemakaian dua bahasa)
• MSDD
• Genetik (faktor keturunan)

Aneka Jenis Bahasa

Bahasa mengandung simbol untuk bertukar informasi. Dan, kemampuan berbahasa lebih pada kemampuan yang dapat dilihat alias dinilai. Perkembangan bahasa dan bicara biasanya digambarkan sebagai berikut:

Bahasa reseptif (masa praverbal) : masa mulai tangisan pertama sampai keluar kata pertama. Bayi memproduksi bahasa prelinguistik yang biasanya sesuai dengan pengasuhnya. Bahasa yang semula dikeluarkan adalah cooing atau suara seperti suara “vokal” tertentu (seperti “au” atau “u”). Tahap prelinguistik cooing ini biasanya terdengar pada usia 4-6 minggu.

Bahasa ekspresif (masa verbal): kemampuan anak untuk mengeluarkan kata-kata yang berarti (biasanya pada usia 12-18 bulan). Misalnya, kata “mama” atau “papa”.
Selain kedua jenis bahasa tersebut, dikenal pula bahasa visual . Tahap bahasa yang berhubungan dengan emosi ini muncul dalam beberapa minggu setelah kelahiran bayi. Yang termasuk bahasa visual adalah:

Usia 4-6 minggu: Bayi “memamerkan” senyum sosial.
Usia 2-3 bulan: Bayi mulai memperhatikan orang dewasa yang sedang bicara. Begitu ia berhenti bicara, bayi akan mengeluarkan suara. Ini adalah dasar adanya interaksi pada anak, yang merupakan awal dari tahap bicara.
Usia 4-5 bulan: Bayi harus terlihat mencari sumber suara.
Usia 6-7 bulan: Bayi menikmati permainan, seperti ci luk ba.
Usia 9 bulan: Bayi mulai menggunakan tangannya untuk melakukan kegiatan sederhana, seperti melambaikan tangan, sebagai ekspresi interaksi sosial.
Usia 9-12 bulan: Bayi memperlihatkan keinginannya pada suatu obyek dengan cara meraih atau menangis bila tidak mendapatkannya.
Usia 12 bulan: Bayi mulai menggunakan jarinya untuk menunjuk benda-benda yang diinginkan.

Perkembangan Bicara pada Bayi dan Balita

Usia 0-1 bulan
Respons bayi saat mendengar suara dengan melebarkan mata atau perubahan irama pernapasan atau kecepatan menghisap susu.

Usia 2-3 bulan
Respons bayi dengan memperhatikan dan mendengar orang yang sedang bicara.

Usia 4 bulan
Menoleh atau mencari suara orang yang bicara.

Usia 6-9 bulan
Babbling, mengerti bila namanya dipanggil.

Usia 9 bulan
Mengerti arti kata “jangan”.

Usia 10-12 bulan
Imitasi suara, mengucapkan mama/papa dari tidak berarti sampai berarti, kadang meniru 2-3 kata. Mengerti perintah sederhana seperti “Ayo, berikan pada saya”.

Usia 13-15 bulan
Perbendaharaan 4-7 kata, <> 400 kata, termasuk nama, kalimat 2-3 kata, mengerti 2 perintah sederhana sekaligus.

Usia 2,5-3 tahun
Menggunakan kata jamak dan waktu lalu, kalimat 3-5 kata, 80-90% bicara dapat dimengerti orang lain.

Usia 3-4 tahun
Kalimat dengan 3-6 kata, bertanya, bercerita, berhubungan dengan pengalaman, hampir semua dimengerti orang lain.

Usia 4-5 tahun
Kalimat dengan 6-8 kata, menyebut 4 warna, menghitung sampai 10.

Waspadalah bila ...

Usia 6 bulan: Bayi tidak melirik atau menoleh pada sumber suara yang datang dari belakang atau samping.
Usia 10 bulan: Bayi tidak berespons bila dipanggil namanya.
Usia 15 bulan: Anak tidak mengerti atau berespons terhadap kata (tidak, salam atau botol).
Usia 18 bulan: Anak tidak dapat mengucapkan 10 kata.
Usia 21 bulan: Anak tidak berespons terhadap perintah (duduk, kemari atau berdiri).
Usia 24 bulan: Anak tidak dapat menunjuk dan menyebutkan bagian tubuh (mulut, hidung, mata dan kuping).


Menyusui = Investasi Besar

Selain ASI mengandung komponen–komponen yang oke untuk perkembangan otak, misalnya DHA, proses menyusui ternyata juga memasukkan unsur-unsur interaksi. Tidak mungkin Anda menyusui si kecil dengan melamun saja kan? Biasanya, Anda menikmati apa yang sedang terjadi sambil membelai perlahan si kecil dan melakukan kontak mata. Sebaliknya, si kecil pun asyik memperhatikan wajah ibu tercinta. Itu semua adalah dasar komunikasi. Jadi, sebisa mungkin, susuilah bayi Anda. Karena, dengan segala manfaat menyusui, apa yang Anda lakukan itu benar-benar investasi yang besar bagi si kecil. Termasuk, dalam perkembangan bicaranya.

SEMOGA BERMANFAAT..
Sumber : Ayah Bunda

KEMATANGAN OTAK, dari anak hingga Dewasa

Benarkah fungsi otak untuk menganalisa dan memecahkan masalah baru sempurna saat seseorang menginjak dewasa? Studi terbaru menjawab dugaan para ahli yang selama ini keliru.

Selama ini para ahli yakin bahwa “ledakan” tumbuh kembang otak terjadi di tahun-tahun pertama usia anak dan “menyurut” secara terus-menerus jika hubungan antar neuron (sel-sel saraf otak) tidak digunakan. Studi terbaru membuktikan bahwa dugaan tersebut keliru.

Hingga usia dewasa awal (19–40 tahun), kematangan otak manusia baru tercapai. Terutama, pada bagian korteks prefrontal, yang berfungsi sebagai pusat perencanaan ( planning ), mencari jalan keluar ( problem solving ), nalar, emosi, gerakan dan sebagian pusat bicara manusia. Itu artinya, masih ada banyak kesempatan yang mendukung tumbuh-kembang otak selama proses maturitas otak masih berjalan.

Berkembang pararel dengan evolusi otak

Studi yang dilakukan oleh peneliti gabungan dari National Health of Mental Health (NIMH) dan University of California, Los Angeles (UCLA) ini dilaporkan secara online dan resmi pada tanggal 17 Mei 2004 lalu. Studi ini dilakukan terhadap 13 anak dan remaja yang sehat, selama 15 tahun. Responden berusia antara 4 sampai 21 tahun.

Setiap anak di- scan dengan Magnetic Resonance Imaging (MRI) setiap dua tahun sekali. Kerja korteks (bagian terbesar otak manusia) direkam dalam bentuk film tiga dimensi. Dalam rekaman, jaringan korteks otak yang sedang aktif bekerja berwarna abu-abu sehingga sering disebut sebagai “ gray matter ” (bagian abu-abu).

Rekaman kerja otak menunjukkan bahwa bagian abu-abu menjadi matang dan semakin aktif di usia yang tahapan perkembangan ( milestone ) kognitif dan fungsionalnya juga semakin matang. Sebagaimana tumbuh kembang manusia, maka korteks menjadi matang sejalan dengan tahapan perkembangan. Artinya, “Urut-urutan maturasi otak umumnya terjadi secara paralel dengan evolusi otak mamalia,” jelas Nitin Gogtay dan rekan-rekan dari NIHM dan UCLA.

Matang secara bertahap

Studi yang antara lain melibatkan Judith Rapoport dan Paul Thompson ini menemukan bahwa bagian otak yang pertama kali menjadi matang adalah bagian depan dan belakang, yang antara lain berfungsi memproses sensasi indrawi dan melakukan gerakan. Kemudian, diikuti oleh maturitas bagian otak yang berfungsi mengembangkan orientasi spasial dan bahasa. Sedangkan bagian otak dengan fungsi-fungsi yang lebih lanjut, seperti mengintegrasikan informasi dari berbagai indra, matang paling akhir.

Hasil studi ini sangat berarti bagi para ahli yang menangani gangguan fungsi dan tumbuh kembang otak, seperti autisme dan schizofrenia, yang juga diteliti Rapoport dan rekan.

Selain itu, perspektif baru tumbuh kembang otak ini, menyebabkan ahli perkembangan, pendidikan dan neuroscience memiliki wawasan baru dan perlu membuat pendekatan berbeda dalam memandang perkembangan kecerdasan dan tumbuh kembang manusia.


Andi Maerzyda A. D. Th.
Sumber : Ayah Bunda

4 Sekawan sahabat Ibu hamil

Memang, tubuh Anda hanya membutuhkannya dalam jumlah sedikit. Namun hati-hati, jangan sampai kurang. Apalagi, manfaatnya banyak lho ....

Besi (Fe)
kebutuhan per hari + 30 mg
Manfaat :
- Membantu pem-bentukan kompo-nen sel darah merah yang mengangkut oksigen, agar terhindar dari anemia (ge-jalanya: lesu, pu-cat, dan pusing).
- Mengurangi kemungkinan ba-yi lahir dengan berat badan ren-dah, lahir prema-tur, atau mening-gal dalam kandungan.
Contoh Bahan Makanan :
Buah-buahan yang dikering-kan (misal kis-mis dan prune), jeroan hewan, roti yang terbuat dari gan-dum utuh, sayur-an berdaun hijau gelap, biji-bijian dan kacang-kacangan.
Catatan Tambahan :
Konsumsi ma-kanan atau mi-numan kaya vi-tamin C bersama makanan yang kaya besi akan membantu penyerapan besi non-heme (besi dari tumbuhan) dalam usus.


Asam folat (vitamin B9)
Kebutuhan perhari : 400 – 800 mkg
manfaat :
- Di masa awal kehamilan, mem-bantu mencegah kelainan pada sistem saraf pusat janin.
- Mengurangi ke-mungkinan persalinan prematur.
Contoh Makanan :
Sayuran ber-daun hijau, bro-koli, rumput laut, asparagus, hati, daging tanpa lemak, kacang-kacangan, jeruk, dan aneka sereal instan.
Catatan Tambahan :
Asam folat yang larut dalam air dapat rusak dalam proses pengolahan. Jadi, masaklah bayam atau bro-koli dengan se-dikit air dan se-singkat mungkin.

Kalsium (Ca)
Kebutuhan Perhari : + 900 mg
Manfaat :
- Membantu pem-bentukan tulang dan gigi janin tanpa mengam-bil persediaan kalsium dari tulang ibu.
- Mengurangi ke-mungkinan terja-dinya pre-eklampsia (kera-cunan kehamil-an).
Contoh Makanan :
Susu dan pro-duk olahannya, sayuran berdaun hijau gelap, u-dang kering, i-kan teri, kacang-kacangan dan produk olahan-nya (tahu dan tempe), ikan tuna dan sardin kalengan.
catatan Tambahan :
Bila tidak tahan laktosa dapat mencoba susu kedelai atau susu yang telah dikurangi jumlah laktosanya.

Seng (Zn)
Kebutuhan Perhari : + 15 mg
Manfaat :
- Mengurangi risiko keguguran, bayi lahir prema-tur, dan pre-ek-lampsia.
- Mengoptimal-kan proses tum-buh kembang janin, termasuk otaknya.
Contoh Makanan :
Hasil laut (mi-salnya ikan, ti-ram, kerang-kerangan), telur, daging merah, dan susu.
catatan Tambahan :
Seng yang ter-dapat dalam ba-han makanan he-wani lebih mudah diserap oleh tubuh ketimbang dalam bahan makanan nabati.

Sumber : Ayah Bunda

Duduk Tepat, Nyeri Hilang

Punggung pegal, pinggang dan panggul nyeri, itu memang keluhan rutin ibu hamil. Mau tahu “resepnya”? Jaga sikap duduk Anda.

Sejalan dengan membesarnya kehamilan, keluhan pun mulai bermunculan. Mula-mula, mungkin hanya berupa sakit punggung, lalu merembet ke yang lain-lain. Semua gangguan itu sebenarnya karena perubahan kadar hormon progesteron di tubuh yang tengah mempersiapkan diri untuk menghadapi persalinan. Kadar hormon ini tiba-tiba melonjak!

Kalau progesteron meningkat

Tingginya kadar hormon progesteron menyebabkan terjadinya peregangan pada sendi-sendi tulang belakang, sehingga daya lentingnya pun berkurang. Untuk mengatasinya, otot-otot punggung harus mengimbangi pengurangan daya lenting tersebut, sehingga menimbulkan pegal dan nyeri.

Rasa pegal dan nyeri tersebut bisa juga terjadi karena pergeseran titik keseimbangan tubuh akibat beban berat pada perut. Setengah dari berat tubuh Anda saat ini memang terletak pada bagian depan tubuh. Nah, agar tubuh tetap seimbang, biasanya Anda mencondongkan bahu ke belakang serta menonjolkan perut. Posisi tubuh seperti ini akan menyebabkan terbentuknya “celah” di antara ruas-ruas persendian tulang belakang, yang justru menimbulkan rasa pegal dan nyeri.

Ini kiatnya!

Ada beberapa kiat untuk mengatasi atau mengurangi keluhan nyeri pinggang, panggul dan pinggul. Salah satunya adalah dengan menjaga sikap tubuh Anda ketika duduk.

• Saat duduk, tulang belakang harus selalu tegak.

• Jangan membungkukkan tubuh ketika duduk.

• Naikkan kaki di atas bangku kecil atau sofa selama duduk. Lakukan sesering mungkin untuk memperkecil kemungkinan terjadinya sumbatan pada aliran darah di kaki. Kalau aliran darah pada kedua kaki lancar-lancar saja, berbagai keluhan akan langsung hilang.

• Jangan menyilangkan kaki ketika duduk tegak, sebab akan menghambat aliran darah di kaki.

• Hindari duduk terlalu lama, karena punggung Anda akan merasa lelah. Atasi dengan cara meletakkan kepala di atas meja selama beberapa waktu. Lalu, cobalah untuk meregangkan bagian belakang leher.

• Ganjal belakang punggung dengan bantal yang empuk. Dengan begitu, tulang belakang Anda selalu tersangga dengan baik

Sri Lestariningsih

Konsultasi ilmiah: dr. Lastiko Bramantyo, Sp.OG, POGI Jaya, RSIA Hermina, Jatinegara, Jakarta

BIAR HAMIL, LATIHAN JALAN TERUS DONK !!!!

Olah raga tak cuma menambah bugar calon ibu, tapi diduga juga memudahkan proses persalinan dan mempercepat pemulihan tubuh setelah persalinan.

Namanya saja latihan fisik. Maka, kadar latihan fisik bagi tingkat mahir atau orang yang terbiasa berolahraga, tak bisa disamakan dengan pemula alias yang jarang berolahraga. Bagi si mahir, jalan kaki keliling kompleks rumah dirasa tidak mencukupi. Sementara bagi pemula, jangankan bersenam, berjalan kaki keliling kompleks sudah membuatnya terengah-engah. Jadi, semua itu sangat tergantung pada kemampuan fisik (kebugaran) serta kebiasaan setiap orang. Apa yang perlu dicermati?



Lihat kondisi tubuh
Kalau Anda ingin mulai berlatih, perhatikan dulu kondisi tubuh Anda. Sebelum mulai program olahraga apa pun, konsultasikan dulu dengan dokter Anda. Ginekolog akan memeriksa kondisi kehamilan, juga dokter spesialis kesehatan dan olahraga akan memberitahu gerakan apa saja yang aman. Dari sini, bisa pula diketahui hal-hal yang perlu diperhatikan atau larangan-larangan selama Anda berolahraga.

Olahraga selama kehamilan memang penting, sepanjang proses kehamilan itu sendiri berjalan normal. Ini berarti, Anda dalam keadaan sehat-sehat saja. Berikut langkah untuk mulai latihan:

• Pemula

Mulailah dengan jalan santai di seputar rumah untuk membiasakan diri. Bisa juga, Anda naik sepeda statis (stasioner) selama 10–15 menit sebanyak 2-3 kali seminggu.

Setelah tubuh “siap”, Anda bisa mulai bersenam. Mulailah dengan 1 atau 2 gerakan latihan setiap kali berolahraga, sekitar 1-2 kali seminggu. Jika sudah terbiasa, latihan dapat dilakukan sekitar 30 menit, 3 kali seminggu. Usahakan untuk berolahraga paling tidak 3 kali seminggu begitu Anda masuk trimester ke-2. Ingat, jumlah latihannya jangan dinaikkan dulu sampai 14 minggu di awal kehamilan. Begitu juga latihannya. Jangan ditambah lagi sekitar 12 minggu terakhir menjelang persalinan.

• Mahir

Jika Anda terbiasa dengan latihan yang cukup berat, maka kini saatnya untuk mengurangi. Bahkan, mungkin ada beberapa gerakan yang tidak boleh lagi Anda lakukan. Jika sebelumnya Anda hobi main tenis, joging atau karate ataupun olahraga sejenisnya, hentikan sementara latihan “keras” semacam ini demi keamanan janin Anda. Pukulan atau tendangan oleh lawan bisa membahayakan janin. Selain itu, hindari juga olahraga yang dapat menyebabkan Anda jatuh, seperti naik sepeda, panjat tebing, dan sebagainya.

Waktu latihan masih bisa tetap bervariasi. Bahkan, bisa saja diperpanjang sampai 40 menit setiap kali latihan. Untuk senam, Anda dapat melakukannya 2–3 kali seminggu dengan 2 bentuk latihan setiap kalinya. Kalau Anda sudah memulainya sejak trimester pertama atau ke-2, mungkin saja Anda perlu mengurangi latihan pada waktu trimester ke-3. Sebab, pada trimester ke-3, tubuh Anda semakin besar, sehingga mau tidak mau kemampuan tubuh untuk melakukan gerakan tertentu juga menurun.

Jangan lupa pemanasan

Sebelum melakukan gerakan apapun, baik pemula maupun mahir, Anda perlu pemanasan (warming up) selama 10-15 menit agar otot-otot tidak cedera nantinya. Berikut beberapa gerakan pemanasan yang tepat:

Jalan di tempat

Latihan yang berintensitas rendah ini merupakan pemanasan yang paling baik dan aman, apalagi bila Anda tidak biasa olahraga. Agar tidak bosan, bisa juga Anda berlari-lari kecil di tempat atau naik sepeda statis.

Gerakkan kepala, lengan dan siku

Miringkan kepala ke kanan dan kiri, menoleh ke kanan dan kiri, serta menundukkan dan menegakkannya lagi. Ulangi gerakan. Atau, gerakkan lengan dan siku. Tekuk salah satu lengan ke arah dada dalam posisi lurus, sedangkan sebelah tangan menekan siku. Tahan selama beberapa detik. Ulangi untuk lengan dan tangan lainnya.

Lengkapi dengan peregangan

Meski senam ini tidak terlalu “heboh-heboh” amat, pemanasan dapat pula dilengkapi dengan peregangan lengan, kaki, dan punggung. Menurut Susan Warchaizer, MD , dokter spesialis kandungan dan kebidanan di Boston, Amerika Serikat, “Pelemasan dan pengenduran otot-otot akan mempermudah Anda untuk membawa perut yang kian besar, mengurangi penekanan dan pembebanan pada sendi-sendi, serta membantu mengurangi tekanan pada punggung dan menghilangkan rasa sakit pada otot-otot paha bagian belakang.” Tahan setiap peregangan sekitar 8-10 detik, lalu kendurkan. Ulangi setiap peregangan minimal 3 kali.


Apa Perlunya Berolahraga?


Meningkatkan sirkulasi darah

Sirkulasi darah ibu hamil semakin lancar dalam menghantarkan oksigen dan “makanan” ke janin.

Mengurangi komplikasi ringan

Meningkatnya sirkulasi darah akan mengurangi terjadinya komplikasi ringan, seperti varises, ambeien, pembengkakan pada kaki, kram di kaki, serta sembelit.

Memperbaiki postur tubuh dan mengurangi sakit punggung

Olah raga teratur akan memperbaiki postur tubuh, juga pada ibu hamil yang biasanya mengalami masalah dengan postur tubuh. Postur tubuh yang baik dan peredaran darah yang lebih lancar membuat Anda lebih nyaman menjalani kehamilan.

Mengurangi stres

Ibu hamil biasanya rentan terhadap stres. Stres ini dikhawatirkan dapat meningkatkan risiko kelahiran prematur. Berolahraga akan memicu keluarnya hormon endorfin, yaitu hormon yang membuat Anda merasa senang atau bahagia.

Membantu menurunkan risiko pre-eklampsia

Olahraga selama kehamilan terbukti dapat menurunkan risiko pre-eklampsia (keracunan dalam kehamilan).

Melancarkan proses persalinan

Dengan meningkatnya sistem kardiovaskuler (sistem peredaran darah dan pernapasan) akibat berolahraga, maka stamina Anda akan semakin baik. Dengan berolahraga, proses persalinan jadi 2 kali lebih pendek, risiko stres janin menurun, serta bantuan persalinan menurun dari 48% jadi 14 %.

Memperlancar ASI

Dengan lancarnya sirkulasi darah, maka bugarlah tubuh Anda. Aliran ASI pun diharapkan lebih lancar lagi.


Tips Berolahraga Tepat


• Jangan sampai hipoglikemia. Kekurangan karbohidrat (hipoglikemia) akibat kurangnya asupan dan latihan berlebihan dapat mengganggu pertumbuhan janin. Karenanya, perhatikan asupan kalori sebelum berlatih.

• Jangan sampai dehidrasi. Sering-seringlah istirahat dan minum jika sedang berlatih. Asupan cairan yang memadai sangat penting, terutama pada trimester ke-3 kehamilan. Jika hal ini tidak diperhatikan, maka kekurangan cairan (dehidrasi) dapat memicu persalinan dini (kelahiran prematur).

• Hindari hipoksia. Olahraga dengan intensitas tinggi dapat menyebabkan Anda terengah-engah, sehingga janin akan kekurangan oksigen juga.

• “Tes bicara”. Jika Anda terengah-engah sehingga sulit bicara pada waktu latihan, turunkan irama latihan. Ini menunjukkan tubuh Anda tidak mendapatkan oksigen yang sesuai dengan kebutuhan. Tentu saja, hal ini akan juga dirasakan oleh janin Anda.

• Jaga suhu tubuh. Jangan sampai suhu tubuh meningkat terlalu tinggi (hipertermia), lebih dari 38 ° C, apalagi pada trimester ke-3. Meningkatnya suhu tubuh bisa memicu terjadinya persalinan prematur. Juga, jika suhu tubuh agak tinggi, sebaiknya jangan berlatih. Latihan cenderung meningkatkan suhu tubuh.

• Hindari tidur telentang. Latihan sambil tidur telentang pada trimester ke-3 perlu dihindari, karena kandungan akan menekan pembuluh darah balik (vena cava inferior). Akibatnya, aliran darah balik ke jantung terhambat.

• Baju dan sepatu yang cocok. Kenakan pakaian yang menyerap keringat dan alas kaki (jika memerlukannya) yang nyaman ketika berolahraga.



Segera Berhenti Berolahraga!

Jangan teruskan latihan (sampai Anda berkonsultasi dengan dokter) jika dijumpai salah satu gejala berikut:

• Nyeri di perut

• Perdarahan (bercak-bercak darah)

• Terasa hampir pingsan

• Sakit punggung

• Sakit di sekitar vagina atau perut bagian bawah

• Tidak terasa adanya gerakan janin

• Kesulitan berjalan

• Demam

• Pusing

• Terengah-engah

• Sakit kepala terus menerus

• Berat badan sulit bertambah

• Pembengkakan di kaki atau bagian lain

• Meningkatnya denyut jantung yang tidak normal setelah latihan


Kontraindikasi Olahraga Selagi Hamil

Pada dasarnya, berolahraga baik bagi kesehatan ibu hamil. Namun, pada beberapa kondisi, latihan yang berat dapat dimodifikasi (misalnya, dengan melakukan peregangan-peregangan) atau malah dihindari sama sekali jika dokter tidak mengizinkan. Beberapa kontraindikasi tersebut adalah:

• Plasenta previa

Plasenta previa adalah kondisi di mana plasenta tumbuh di bagian bawah uterus (rahim), sehingga menutupi jalan lahir di leher rahim. Keadaan seperti ini dapat menyebabkan bercak-bercak sampai perdarahan selama hamil. Jadi, para calon ibu yang mengalami plasenta previa dilarang keras berolahraga agar terhindar dari kemungkinan terjadinya perdarahan.

• Pernah keguguran atau lahir prematur

Bagi yang pernah keguguran atau mengalami persalinan prematur, maka pada kehamilan berikutnya sebaiknya berkonsultasi dulu dengan dokter jika ingin melakukan olahraga.

• Incompetentia cervix

Yakni, longgarnya mulut rahim saat hamil. Kondisi ini memang rentan atau berisiko tinggi terhadap terjadinya keguguran. Jangankan berolahraga, melakukan kegiatan sehari-haripun bisa mengakibatkan janin terlepas dari rahim.

• Pertumbuhan bayi terhambat

Jika pertambahan berat badan selama hamil tidak mencukupi, maka olahraga juga tidak disarankan, karena akan mengganggu pertumbuhan janin.


Jenis-jenis latihan

• Pemanasan perlu dilakukan sebelum berolah tubuh, agar otot-otot Anda tidak cedera.

• Step up. Latihan ini untuk menguatkan quadriceps (otot paha bagian belakang), hamstrings (otot paha depan) buttocks (bokong), dan calves (betis). Caranya, dengan naik turun step aerobik atau gunakan anak tangga terbawah.

• Mahir: Naik turun step aerobik sebanyak 12-15 kali. Lakukan sambil bawa beban (dumbell) di atas pundak. Naikkan kaki kiri ke papan, lalu kaki kanan, kemudian turunkan kaki kiri, diikuti kaki kanan. Lakukan berganti-ganti kaki.

• Pemula: Gerakan sama, hanya saja tangan sebelah bisa berpegangan pada sandaran kursi sementara tangan lainnya diletakkan di pinggang.

• Mendayung. Gerakan ini dilakukan untuk memperkuat punggung bagian tengah, pundak, dan otot biceps (lengan atas depan)

• Mahir: Duduklah di kursi atau bola besar dengan lutut tertekuk, sejajar dengan pergelangan kaki, dan telapak kaki menapak lurus di lantai. Pegang dumbell (beban) dengan kedua belah tangan, sejajar dengan pinggang. Ayunkan ke belakang sejauh mungkin, dekatkan kedua tulang belikat, kemudian tekuk siku ke posisi semula. Usahakan pergelangan tangan tetap lurus. Ulangi gerakan antara 10 –12 kali.

• Pemula: Dalam posisi berdiri, regangkan kaki selebar pinggul dengan posisi kaki kanan di depan kaki kiri. Tangan kanan memegang sandaran kursi, sementara tangan kiri memegang dumbbell. Condongkan tubuh ke depan. Dengan dumbbell di tangan kiri, biarkan lengan menggantung. Tekuk siku ke dekat pinggang, luruskan lagi lengan beberapa kali, kemudian ganti posisi kaki dan tangan.

• Gerakan terbang. Latihan untuk memperkuat punggung bagian atas dan pundak.

• Mahir: Duduklah di atas bola stabilitas dengan lutut ditekuk dan telapak kaki menapak ke lantai. Dengan dumbbell di kedua tangan, dekatkan kedua tulang belikat dan condongkan badan ke depan dimulai dari pinggul. Kemudian, rentangkan lengan lurus-lurus sampai setinggi bahu. Ulangi gerakan ini hingga 10 – 12 kali.

• Pemula: duduklah di bagian tepi kursi dan condongkan tubuh ke depan mulai dari pinggul, sampai menyerupai sudut 45º. Pegang dumbbell memakai satu tangan dengan telapak menghadap ke dalam, sementara tangan satu lagi menyilang paha untuk menahan tubuh. Setelah itu, rentangkan tangan yang memegang beban lurus-lurus sampai setinggi buah. Jaga agar siku tidak tertekuk ketika mengangkat lengan. Lakukan gerakan ini sebanyak 10 –12 kali.

Sumber : Ayah Bunda

Mendidik Anak Cerdas dan Berbakat

Sebagai orang tua masa kini, kita seringkali menekankan agar anak berprestasi secara akademik di sekolah. Kita ingin mereka menjadi juara dengan harapan ketika dewasa mereka bisa memasuki perguruan tinggi yang bergengsi. Kita sebagai masyarakat mempunyai kepercayaan bahwa sukses di sekolah adalah kunci untuk kesuksesan hidup di masa depan.

Pada kenyataannya, kita tidak bisa mengingkari bahwa sangat sedikit orang-orang yang sukses di dunia ini yang menjadi juara di masa sekolah. Bill Gates (pemilik Microsoft), Tiger Wood (pemain golf) adalah beberapa dari ribuan orang yang dianggap tidak berhasil di sekolah tetapi menjadi orang yang sangat berhasil di bidangnya.

Kalau IQ ataupun prestasi akademik tidak bisa dipakai untuk meramalkan sukses seorang anak di masa depan, lalu apa? Kemudian, apa yang harus dilakukan orang tua supaya anak-anak mempunyai persiapan cukup untuk masa depannya? Jawabannya adalah: Prestasi dalam Kecerdasan Majemuk (Multiple Intelligence), dan BUKAN HANYA prestasi akademik.

Kemungkinan anak untuk meraih sukses menjadi sangat besar jika anak dilatih untuk meningkatkan kecerdasannya yang majemuk itu.

9 Jenis Kecerdasan Dr. Howard Gardner, peneliti dari Harvard, pencetus teori Multiple Intelligence mengajukan 8 jenis kecerdasan yang meliputi (saya memasukkan kecerdasan Spiritual walaupun masih diperdebatkan kriterianya):
Cerdas Bahasa – cerdas dalam mengolah kata
Cerdas Gambar – memiliki imajinasi tinggi
Cerdas Musik – cerdas musik, peka terhadap suara dan irama
Cerdas Tubuh – trampil dalam mengolah tubuh dan gerak
Cerdas Matematika dan Logika – cerdas dalam sains dan berhitung
Cerdas Sosial – kemampuan tinggi dalam membaca pikiran dan perasaan orang lain Cerdas Diri – menyadari kekuatan dan kelemahan diri
Cerdas Alam – peka terhadap alam sekitar Cerdas Spiritual – menyadari makna eksistensi diri dalam hubungannya dengan pencipta alam semesta

Membangun seluruh kecerdasan anak adalah ibarat membangun sebuah tenda yang mempunyai beberapa tongkat sebagai penyangganya. Semakin sama tinggi tongkat-tongkat penyangganya, semakin kokoh pulalah tenda itu berdiri. Untuk menjadi sungguh-sungguh cerdas berarti memiliki skor yang tinggi pada seluruh kecerdasan majemuk tersebut. Walaupun sangat jarang seseorang memiliki kecerdasan yang tinggi di semua bidang, biasanya orang yang benar-benar sukses memiliki kombinasi 4 atau 5 kecerdasan yang menonjol.

Albert Einstein, terkenal jenius di bidang sains, ternyata juga sangat cerdas dalam bermain biola dan matematika. Demikian pula Leonardo Da Vinci yang memiliki kecerdasan yang luar biasa dalam bidang olah tubuh, seni, arsitektur, matematika dan fisika.

Penelitian menunjukkan bahwa faktor genetik saja tidak cukup bagi seseorang untuk mengembangkan kecerdasannya secara maksimal.

Justru PERAN ORANG TUA dalam memberikan latihan-latihan dan lingkungan yang mendukung JAUH LEBIH PENTING dalam menentukan perkembangan kecerdasan seorang anak. Jadi, untuk menjamin masa depan anak yang berhasil, kita tidak bisa menggantungkan pada sukses sekolah semata. Ayah-Ibu HARUS berusaha sebaik mungkin untuk menemukan dan mengembangkan sebanyak mungkin kecerdasan yang dimiliki oleh masing-masing anak.

Sumber : Info Balita Cerdas

Gaya Asuh dan Empati Pada Anak

Hasil penelitian ini secara jelas menunjukkan bahwa ibu yang menerapkan disiplin dan sistem hukuman yang berlebihan, yang tidak berusaha berkomunikasi, memberikan penjelasan, pengertian dan menerapkan peraturan-peraturan yang konsisten, dan yang secara keterlaluan memarahi anak-anak mereka ataupun menunjukkan kekecewaan mereka terhadap si anak cenderung menghalangi perkembangan prasosial si anak.

Orang tua yang menggunakan hukuman keras sebagai bagian dari disiplin dalam mendidik anak mereka memiliki kemungkinan untuk menyebabkan masalah yang lebih dari sekedar hubungan orangtua-anak yang kurang mesra.

Penelitian yang baru-baru ini dilakukan menunjukkan bahwa para ibu yang terlalu keras dapat mempengaruhi kemampuan anak-anak mereka dalam menunjukkan empati. Hasil penelitian ini secara jelas menunjukkan bahwa ibu yang menerapkan disiplin dan sistem hukuman yang berlebihan, yang tidak berusaha berkomunikasi, memberikan penjelasan, pengertian dan menerapkan peraturan-peraturan yang konsisten, dan yang secara keterlaluan memarahi anak-anak mereka ataupun menunjukkan kekecewaan mereka terhadap si anak cenderung menghalangi perkembangan prasosial si anak, demikian ditulis Dr. Paul D. Hastings, dari National Institue of Mental Health. Penelitian yang hanya memfokuskan diri pada gaya orang tua mengasuh anaknya tersebut menyimpulkan bahwa anak-anak mengartikan perilaku keras tersebut sebagai tidak adanya kasih sayang dari orang tua mereka. Hasil penelitian ini telah diterbitkan pada edisi September jurnal Developmental Psychology.

Kebalikannya, para ibu yang hangat, yang menggunakan penjelasan dan tidak mengandalkan hukuman keras dalam mendisiplinkan anak-anak, mereka cenderung menumbuhkan rasa empati dalam diri anak-anak mereka. Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk melihat bagaimana gaya asuh ayah mempengaruhi kepedulian anak kepada sesama. Kelompok peneliti mengobservasi perkembangan tiga kelompok anak-anak, tingkat keagresivan atau perilaku mengganggu yang berbeda-beda mulai dari pra sekolah sampai sekolah dasar.

Sementara ketiga kelompok menunjukkan tingkat kepedulian terhadap sesama yang sama pada masa pra sekolah, seiring dengan bergulirnya waktu rasa empati anak-anak yang memiliki masalah perilaku semakin berkurang. Untuk mengukur kadar rasa empati, para peneliti melihat bagaimana anak-anak tersebut bereaksi terhadap sandiwara dimana seorang peneliti wanita atau ibu dari si anak mengalami kecelakaan kaki. Si orang dewasa yang mengalami kecelakaan meringis, mengekspresikan rasa sakitnya secara verbal dan menggosok-gosok tempat yang sakit. Pada pra sekolah (sekitar usia 4-5 tahun) anak-anak yang agresif dan perusuh menunjukkan rasa peduli yang sama dengan teman-teman mereka.

Beberapa tahun kemudian anak-anak dengan masalah perilaku baru menunjukkan kepedulian yang kurang terhadap si orang dewasa yang terluka. Pada usia mendekati 7 tahun, mayoritas dari anak-anak bermasalah ini telah kehilangan hampir seluruh dari rasa peduli mereka. Lebih tragis lagi, anak-anak ini juga dideskripsikan sebagai pribadi yang antisosial oleh guru mereka, dan diri mereka sendiri. Anak-anak yang disebut agresif menunjukkan ketidakpedulian mereka terhadap sesama melalui kemarahan, kekerasan, dan menertawakan ketidakberuntungan orang lain, khususnya terhadap ibu mereka. Peneliti mengatakan bahwa respons ini adalah reaksi terhadap gaya asuh ibu-ibu mereka.

Anak-anak laki-laki tersebut cenderung mengalami kesakitan secara emosionil dan, kemungkinan, fisik, dalam hubungan mereka dengan ibu mereka, demikian Hastings dan rekan mengatakan. Kemarahan mereka dan ketidakacuhan mereka pada saat ibu mereka membutuhkan pertolongan kemungkinan merupakan usaha mereka untuk memberikan jarak atau mengurangi rasa sakit yang mereka rasakan dalam interaksi dengan ibu mereka. Para peneliti memperhatikan bahwa anak-anak pra sekolah dengan masalah perilaku menjadi berkurang sikap agresifnya jika mereka diajarkan untuk peduli terhadap sesama.

Menanamkan rasa kepedulian kepada anak-anak adalah cara yang baik untuk menghilangkan masalah perilaku pada anak-anak yang cenderung agresif atau perusuh pada usia dini, demikian peneliti menyimpulkan.

(Developmental Psychology/imi) (sumber : Lippostar.com)

RASA INGIN TAHU ANAK BESAR = ANAK CERDAS. BENARKAH?

''Anak yg selalu bertanya atau rasa ingin tahunya besar adalah anak yg cerdas.'' Benarkah pernyataan itu? Apakah memang demikian kenyataannya? ...Ada satu hal lagi yg perlu menjadi perhatian kita dalam menilai apakah anak tersebut BENAR-BENAR mempunyai ciri-ciri anak cerdas.

Jika anda sudah banyak membaca buku ataupun menerima banyak informasi tentang perkembangan anak, pasti anda pernah mendapatkan pernyataan berikut: ''Anak yg selalu bertanya atau rasa ingin tahunya besar adalah anak yg cerdas.

'' Benarkah pernyataan itu? Apakah memang demikian kenyataannya? (Semoga anda tidak menjadi ragu dengan 2 pertanyaan di atas.) Memang BENAR bahwa salah satu ciri anak cerdas adalah anak yg rasa ingin tahunya besar, selalu bertanya tentang banyak hal. TETAPI, ada satu hal lagi yg perlu menjadi perhatian kita dalam menilai apakah anak tersebut BENAR-BENAR mempunyai ciri-ciri anak cerdas. Apa itu? Setelah anak mengajukan pertanyaan, ada 1 tahapan lanjutan yg bisa dijadikan acuan apakah dia benar-benar ingin tahu, yaitu: ''APAKAH ANAK BENAR-BENAR MEMPERHATIKAN JAWABANNYA.'' Anak yg cerdas akan bertanya banyak hal karena memang dia ingin tahu jawabannya. Biasanya, jika anak tersebut bertanya, dia akan 'mengejar' jawaban kita dengan pertanyaan lanjutan, sampai kita orangtua menjadi kewalahan dalam menjawabnya. Inilah salah satu ciri-ciri anak cerdas yang sebenarnya! Kadang-kadang kita melihat anak yang selalu bertanya, tetapi sebelum dijawab anak tersebut sudah bertanya lagi hal yang lain lagi secara terus menerus.

Hal ini menunjukkan bahwa anak tersebut tidak benar-benar ingin tahu terhadap apa yang ditanyakannya. Menghadapi anak seperti itu, kita perlu mengarahkan sedikit demi sedikit, sehingga anak menjadi bisa memfokuskan dirinya terhadap apa yang ingin diketahuinya. Kemudian, sarana TERBAIK untuk memuaskan keingin-tahuan anak adalah dengan menyediakan buku, dan mengajarkan anak MEMBACA sejak dini.

Aktivitas membaca mempunyai pengaruh terbesar dalam kehidupan berpikir seorang anak, yang pada akhirnya akan berpengaruh juga terhadap tingkat kecerdasan anak. Untuk menstimulasi hal tersebut, kita perlu memberikan kegiatan lanjutan setelah anak selesai membaca dalam suasana yang menyenangkan. Misalnya, kita bisa membuat quiz tentang isi dari bacaan tersebut, dlsb. Hal ini perlu untuk melatih anak belajar menguasai isi bacaan tersebut. Pemahaman terhadap isi bacaan merupakan tahap lanjutan yang sangat penting untuk diajarkan setelah anak mulai lancar membaca.

Yang lebih penting lagi: JANGAN memaksa anak untuk membaca! Beri kebebasan kepada anak untuk memilih buku yang ingin dibacanya. INGAT, yang penting BUKAN APA yang dibaca oleh anak, TETAPI BAGAIMANA anak membacanya. Tentu saja, selama buku-buku tersebut sesuai untuk anak-anak. Jangan samapai, misalnya, kita memaksa anak membaca buku tentang binatang, padahal anak sedang ingin membaca buku tentang angkasa luar. Adil Fathi Abdullah dalam bukunya mengatakan: ''Andai kita berhasil membuat anak gemar dan menikmati aktivitas membaca serta menjadikannya sebagai sarana untuk meningkatkan daya pikirnya, berarti kita telah memberikan kebaikan yang tidak ternilai dengan harta dunia.'' Anda setuju? Saya sangat SANGAT sependapat dengan pernyataan diatas.

Sumber : Info balita Cerdas

Mendengar ATAU Terdengar

Oleh Jacinta F. Rini


(Anak) : Mama...mama...adek nggak mau sekolah lagi...pokoknya nggak mau...sekolah itu nggak enak soalnya ada si dono yang badannya besar dan suka gangguin adek...adek takut, Ma...adek nggak mau ketemu dono....(sambil menangis)

(Mama): (mamanya sambil matanya lekat ke sinetron yang sedang seru-serunya) Mmmm...Oooo...Aahh nggak apa-apa, kan...biasa itu...masa’ begitu saja takut...pokoknya besok sekolah seperti biasa...ya! anggap saja tidak ada apa-apa....ya sudah, sana..! lagi seru niiih..wah, jadi kelewat deh ceritanya...! kamu sih...!



Problem Komunikasi Dalam Keluarga

Situasi di atas sepertinya tidak asing lagi di jaman ini, di mana setiap orang, termasuk orang tua, seolah membangun dunia sendiri yang terpisah dari orang lain, bahkan anggota keluarganya sendiri. Komunikasi keluarga menjadi “barang mahal dan barang langka” karena masing-masing sibuk dengan urusan, pikiran dan perasaannya masing-masing. Akhirnya, komunikasi yang tercipta di dalam keluarga, adalah komunikasi yang sifatnya informatif dan superfisial (hanya sebatas permukaan). Misalnya, pemberitahuan agenda kerja ayah hari ini, rapat di kantor, janji bertemu orang, harus presentasi, atau mungkin membicarakan mengenai teman ayah punya pekerjaan baru, si Pak Tiar pergi ke luar negeri, tingkat bunga bank, kurs dollar, situasi politik, kerusuhan yang terjadi di luar daerah, dan lain sebagainya. Sementara ibu membicarakan tentang teman kerja di kantor, rencana bisnis ibu, rencana masak memasak, pertemuan arisan, acara televisi baru, atau membicarakan tentang anak teman ibu yang punya masalah. Anak-anak, punya dunianya sendiri yang sarat dengan keanekaragaman pengalaman dan cerita-cerita seru yang beredar di kalangan teman-teman mereka.

Dalam kepadatan arus informasi yang serba superfisial dan sempitnya “waktu bersama”, membuat hubungan antara orang tua – anak semakin berjarak dan semu. Artinya, hal-hal yang diutarakan dan dikomunikasikan adalah topik umum selayaknya ngobrol dengan orang-orang lainnya. Akibatnya, masing-masing pihak makin sulit mencapai tingkat pemahaman yang dalam dan benar terhadap apa yang dialami, dirasakan, dipikirkan, dibutuhkan dan dirindukan satu sama lain. Dalam pola hubungan komunikasi seperti ini, tidak heran jika ada orang tua yang kaget melihat anaknya tiba-tiba menunjukkan sikap aneh, seperti tidak mau makan, sulit tidur (insomnia), murung atau prestasinya meluncur drastis. Orang tua merasa selama ini anaknya seperti “tidak ada apa-apa” dan biasa saja. Lebih parah lagi, mereka menyalahkan anak, menyalahkan pihak lain, entah pihak sekolah, guru, atau malah saling menyalahkan antara ayah dengan ibu. Seringkali orang tua lupa, bahwa setiap masalah adalah hasil dari sebuah interaksi setiap orang yang terlibat di dalamnya. Setiap orang, punya kontribusi dalam mendorong munculnya masalah, termasuk masalah pada anak-anak mereka.

Seni Mendengarkan
Komunikasi, sesungguhnya tidak hanya terbatas dalam bentuk kata-kata. Komunikasi, adalah ekspresi dari sebuah kesatuan yang sangat kompleks : bahasa tubuh, senyuman, peluk kasih, ciuman sayang, dan kata-kata. Seni mendengarkan, membutuhkan totalitas perhatian dan keinginan mendengarkan, hingga sang pendengar dapat memahami sepenuhnya kompleksitas emosi dan pikiran orang yang sedang berbicara. Bahkan, komunikasi yang sejati, sang pendengar mampu memahami apa yang terjadi / yang dirasakan oleh lawan bicara meski dengan kata-kata yang sangat minimal.

Bagaimana Cara Mendengarkan Yang Baik ?
Di awal artikel ini pembaca dapat menarik gambaran bagaimana suasana hati sang anak dan apa yang diharapkannya ketika ia mencoba “berkomunikasi” dengan sang ibu; dan bagaimana keadaan “hati” anak setelah itu? Kejadian tersebut tampaknya sangat umum terjadi di mana-mana, di hampir setiap keluarga. Memang, tidak ada orang tua sempurna, karena setiap orang tua memiliki masalahnya masing-masing hingga seringkali memblokir hubungan positif yang seharusnya terjalin antara mereka dengan anak-anak. Tapi, bukan berarti hal itu dapat selalu dimaklumi, bukan? Bagaimana pun, setiap kita para orang tua, perlu diingatkan kembali, bagaimana cara “mendengarkan” anak kita.

1. Fokuskan perhatian pada anak
Pada saat anak mencoba mengatakan sesuatu, berilah perhatian sepenuhnya pada ceritanya. Untuk itu, alangkah baiknya jika kita mengalihkan perhatian sejenak dari film atau sinetron yang sedang ditonton, majalah, koran, atau dari pekerjaan yang sedang dihadapi. Tataplah langsung di matanya sambil memberi kesan bahwa kita benar-benar siap memperhatikan ceritanya, dan mendorongnya untuk bercerita.

2. Re-statement, mengulangi cerita anak untuk menyamakan pengertian
Tahanlah diri untuk tidak menginterupsi ceritanya sampai anak selesai bercerita. Ketika anak selesai bercerita, cobalah memberikan kesimpulan berdasarkan hasil tangkapan kita terhadap ceritanya. Pola ini, memberikan feedback bagi orang tua dan anak, apakah kita benar-benar telah memahami apa yang diceritakan atau apa yang sebenarnya ingin diungkapkan oleh anak.

3. Menggali perasaan dan pendapat anak akan masalah yang sedang dihadapi
Kita boleh bertanya pada mereka : “bagaimana perasaan adek, waktu itu....”; cara ini jauh lebih baik ketimbang menjatuhkan penilaian subyektif atas diri mereka : “ah, kamu pasti takut! Kamu kan penakut....” atau “ah, paling kamu menangis...kan kamu cengeng...” atau “kamu nggak menangis, kan? Anak mama papa pemberani, tentu tidak pernah menangis!”...Penilaian tersebut malah membuat anak frustrasi karena mereka mengharap orang tua bisa mengerti perasaan mereka, bukan menilai sikap dan perasaan mereka. Selain itu, penilaian subyektif orang tua yang datang terlalu cepat, bisa membuat anak menarik diri untuk tidak lebih lanjut menceritakan perasaan yang sebenarnya, karena orang tua sudah punya anggapan tertentu.

Misal, anak itu sebenarnya takut ketika berhadapan dengan teman sekolah yang lebih besar badannya dan suka mengganggunya – namun urung bercerita karena orang tua sudah memberi label pada sang anak sebagai “anak mama-papa pasti pemberani”. Menceritakan perasaan dan kejadian yang sesungguhnya, hanya akan membuat dirinya dimarahi atau malu karena dianggap lemah.

4. Bantu anak mendefinisikan perasaan
Mendengarkan sepenuhnya cerita pengalaman anak, baik itu menyedihkan dan menyenangkan, membuat kita berdua (dengan anak) dapat berbagi rasa dan anak pun akan merasa orang tua menghargainya. Anak akan biasa bersikap terbuka karena yakin orang tua pasti bersedia mendengarkan mereka. Jika anak masih sulit mengidentifikasi perasaan mereka, bantulah dengan mendengarkan cerita mereka sungguh-sungguh, dan melontarkan kesan seperti “Wah..adek sepertinya sedih sekali”..atau “Kamu kelihatan sangat marah”...atau “adek sepertinya sedang bosan?”. Anak akan sangat lega ketika orang tua bisa menangkap perasaan mereka. Interaksi demikian, melatih anak mengidentifikasikan perasaan mereka secara tepat.

5. Bertanya
Hindari sikap memaksakan pendapat, cara, penilaian orang tua; alangkah lebih baik jika orang tua membimbing mereka dengan pertanyaan-pertanyaan yang membuat mereka semakin memahami kejadian yang dialami, teman yang dihadapi, perasaan yang mereka rasakan serta sikap - tindakan yang harus mereka lakukan sebagai pemecahannya.

6. Mendorong semangat anak untuk bercerita
Hanya dengan memberi respon “Ooo....O ya?...Wow!...” sudah menjadi stimulasi bagi mereka untuk makin giat bercerita.Pola ini dapat membuat anak tenang dan nyaman karena merasa orang tua memahami apa yang mereka ungkapkan.

7. Mendorong anak mengambil keputusan yang tepat
Jika orang tua ingin membantu anak menghadapi masalahnya, sebaiknya kita tidak mengambil alih keputusan (“ya sudah, besok kamu tidak usah masuk sekolah”) atau tindakan (“biar mama yang hadapi si boy teman mu yang nakal...biar mama si boy tahu apa yang anaknya lakukan!). Sebaliknya, hadirkan beberapa alternatif yang membuat mereka berpikir dan memilih manakah solusi terbaik sambil membicarakan akibat-akibat yang bisa dirasakan baik oleh anak maupun oleh orang lain.

8. Menunggu redanya emosi anak dan mengajak berpikir positif
Jika anak masih diliputi emosi yang memuncak hingga membuatnya sulit berbicara, orang tua jangan memaksakan anak untuk segera bicara. Kita tidak akan berhasil membuatnya bercerita dan kita pun makin tidak sabar untuk tidak memberikan opini kita padanya. Konflik seringkali terjadi dan ini menyebabkan memburuknya hubungan orang tua anak. Berikan waktu untuk menyendiri sampai intensitas perasaannya mereda. Ketika emosinya mereda, anak akan lebih siap untuk diajak bicara. Sekali lagi, berusahalah untuk tidak memberikan opini kita pribadi, baik terhadap pilihan sikapnya, emosinya, dan tindakannya.

Tanyakan pemikiran mereka terhadap masalah ini dan bagaimana kira-kira sikap yang sebaiknya mereka lakukan di kemudian hari. Sikap ini tidak saja menghindarkan anak dari perasaan dihakimi, namun juga membantu mereka lebih memahami kejadian / peristiwa itu secara obyektif serta menemukan nilai atau pelajaran berharga yang dapat dipetik dari kejadian itu.

Apa manfaat dari mendengarkan?
Bagi seorang anak, komunikasi bukan hanya bertujuan untuk membuat orang dewasa atau orang lain mengetahui dan memenuhi kebutuhannya. Dari komunikasi itu lah, anak dapat menarik kesimpulan, bagaimana orang dewasa memandang dirinya; dan dari kesan ini lah seorang anak membangun rasa percaya diri dan sense of self.

Anak akan merasa dihargai, merasa percaya diri dan mengembangkan penilaian positif terhadap dirinya, ketika orang tua menaruh perhatian tidak hanya pada ceritanya, tapi juga pada pendapat, keyakinan, kesimpulan, ide-ide, perasaan, bahkan ketika pendapat tersebut tidak sesuai dengan pendapat orang tua. Sikap orang tua yang “mendengarkan” anak, membuat anak berani membuat perbedaan dan menjadi berbeda, tanpa takut dihukum, dilecehkan atau ditertawakan. Hal itulah yang menjadi salah satu landasan keberanian dan keinginan anak, untuk menjadi diri sendiri apa adanya.

Dari tanggapan-tanggapan orang tua, anak akan belajar mengenal banyak informasi dan pengetahuan, mendengar sesuatu yang berbeda dari yang dipikirkannya selama ini, melihat alternatif yang lain, menilai pendapat dan tindakannya sendiri, menilai posisi dirinya di mata orang lain, dan menarik kesimpulan apa yang harus dilakukan olehnya. Proses saling mendengarkan dan didengarkan, mengasah daya kritis dan kreativitas berpikir anak karena ketika antara anak dengan orang tua terdapat jalur 2 arah yang terbuka, maka terbuka pula akses informasi, pengetahuan, perasaan, pemikiran dan pengalaman dari kedua belah pihak. Satu sama lain, saling belajar dan saling memperkaya, saling mengenal dan semakin memahami.
Proses komunikasi antara orang tua dengan anak, sangat membantu anak memahami dirinya sendiri, perasaannya, pikirannya, pendapatnya dan keinginan-keinginannya. Anak dapat mengidentifikasi perasaannya secara tepat sehingga membantunya untuk mengenali perasaan yang sama pada orang lain. Lama kelamaan, semakin anak terlatih dalam mengenali emosi, tumbuh keyakinan dan sense of control terhadap perasaannya sendiri (lebih mudah mengendalikan sesuatu yang telah diketahui).

Misal, jika anak sudah tahu bagaimana rasanya marah, sedih, kecewa, takut, kesepian, dsb, maka akan lebih mudah bagi orang tua memberikan alternatif-alternatif cara menghadapi dan menyelesaikannya.

Mendengarkan anak secara sungguh-sungguh, membuat anak percaya pada orangtua. Hubungan mutual trust, ini membuat anak merasa lebih nyaman berada bersama orang tua, lebih memilih ‘curhat dengan orang tua dan siap menjadi “partner” ketika orang tua yang giliran butuh didengarkan.

Evaluasi Diri
Mendengarkan dan didengarkan, adalah kunci hubungan orang tua-anak yang sangat bermanfaat, baik untuk pengembangkan kematangan emosional, kepandaian intelektual, kemampuan membina kehidupan sosial yang baik serta penanaman nilai prinsip moral yang baik pada anak. Dengan mendengar dan didengar, jalur komunikasi 2 arah terbuka lebar antara orang tua – anak, memungkinkan keduanya saling mengerti dan membuat orang tua dapat memberikan dukungan yang diperlukan oleh anak.

Namun sebaliknya, jika kata-kata yang diucapkan anak hanya sekedar “terdengar” di telinga kita, akan hilang begitu saja terbawa angin dan tidak memberikan makna serta kontribusi apapun dalam proses pertumbuhan anak. Nah, apakah kita sebagai orang tua, tega mengorbankan kualitas perkembangan dan tingkat kematangan emosional, intelektual, moral, dan kemampuan sosial anak kita demi kesenangan sesaat (film yang menarik, obrolan gossip yang asik, berita yang sedang dibaca, dan lain sebagainya).....Inilah saatnya kita sebagai orang tua merefleksikan dalam kehidupan sehari-hari, apakah kita sudah lebih sering mendengarkan anak....ataukah, cerita mereka hanya terdengar sayup-sayup oleh kita?

Sumber : e-psikologi Anak dan balita

Menyiasati Anak Sulit Makan

Oleh Martina Rini S. Tasmin, SPsi.


Ibu : "A lagi ya, satu lagi aaanya, yah satu lagi yah"

Anak : "Nggak mau, udah kenyang"

Ibu : "Satu lagi deh, abis itu udahan deh makannya. Tinggal sedikit nih, tuh lihat di piringnya, tinggal sedikit kan. Satu lagi yaaaaa"

Anak : "Nggak mau ah, udah kenyaaaaaaaaaaaang"



Bagi sebagian ibu, dialog di atas mungkin terdengar sangat familiar di telinga ketika jam makan anak-anak telah tiba. Memberi makan kepada anak-anak balita terkadang memang menyulitkan. Anak tidak selalu menyukai apa yang diberikan kepada mereka. Mereka cenderung lebih menyukai makanan ringan berupa makanan yang manis (seperti permen, biskuit), makanan junk food (biasanya dalam bentuk makan siap saji seperti hamburger, fried chicken, french fries), dan makanan yang tasty (misalnya chiky, cheetos) dibandingkan makanan utama yang berupa nasi dan lauk pauknya.

Menghadapi situasi diatas orangtua biasanya menggunakan berbagai cara untuk membuat agar anaknya mau makan, bahkan seringkali sampai merasa perlu untuk memaksa anak, apalagi orangtua dari anak-anak yang bertubuh mungil. Orangtua mungkin beranggapan bahwa tubuh mungilnya itu terbentuk karena anaknya kurang makan dan gizi. Nah, gimana caranya menyiasati agar anak mau makan makanan yang disediakan oleh orangtua?

Komponen Utama Sumber Energi

Untuk perkembangan tubuh dan energi anak membutuhkan sejumlah kalori. Kebutuhan kalori ini dipenuhi dari nutrisi, yaitu protein, karbohidrat dan lemak. Protein berguna untuk membentuk struktur sel-sel tubuh. Protein banyak terkandung dalam makanan yang terbuat dari tumbuhan maupun hewan, contohnya ikan, susu, keju, kacang dan tepung. Karbohidrat berguna sebagai energi yang diperlukan untuk beraktivitas dan proses-proses penting yang terjadi di dalam tubuh. Karbohidrat terkandung dalam gandum, kacang-kacangan, kentang, beras, buah-buahan, gula dan madu. Lemak juga berguna sebagai sumber energi. Lemak banyak terkandung dalam susu, kacang-kacangan, mentega dan minyak.

Selain membutuhkan nutrisi, tubuh juga membutuhkan vitamin, mineral dan serat. Vitamin, mineral dan serat penting untuk menjaga kesehatan tubuh. Semua makanan pada umumnya mengandung setidaknya satu unsur nutrisi yang dibutuhkan dan dapat juga mengandung vitamin, mineral dan serat. Unsur-unsur inilah yang seringkali disebut dengan istilah Gizi (nutrisi, vitamin, mineral dan serat).

Bagaimana dengan makanan siap saji atau junk food? Junk food yang disukai anak-anak sebenarnya bukanlah makanan yang tidak ada faedahnya sama sekali. Contohnya hamburger, mengandung protein dan lemak, sumber zat besi dan vitamin B yang baik buat anak. Namun perlu diingat bahwa lemak dan protein yang terkandung dalam hamburger melebihi jumlah yang dibutuhkan oleh tubuh. Oleh karena itu jika anak menyukai junk food, tidak ada salahnya sekali-kali diberikan, namun sangat dianjurkan untuk tidak mengkonsumsinya secara berlebihan. Jika hal itu sampai terjadi maka akan berpengaruh kurang baik bagi kesehatan karena asupan gizi yang diperoleh tidak seimbang, dan juga memicu terjadinya obesitas/kegemukan.


Mengapa Anak Menolak Makan?

Papalia (1995), salah seorang ahli perkembangan manusia, mengungkapkan bahwa pada usia 0-3 tahun perkembangan fisik dan otak anak berlangsung paling pesat/growth spurt, karena itu tubuh membutuhkan gizi yang banyak, sehingga biasanya anak memiliki nafsu makan yang baik. Setelah usia 3 tahun, perkembangan tubuh tidak lagi sepesat sebelumnya, kebutuhan tubuh akan makanan menurun dan biasanya diikuti nafsu makan anak yang juga menurun. Oleh karena itu dibutuhkan kreativitas dari orangtua agar anak jangan sampai kekurangan gizi akibat tidak mau makan.

Illingworth (1991), seorang ahli kesehatan anak, mengutarakan beberapa hal-hal yang menurut pengamatannya dapat menjadi penyebab anak tidak mau makan:

Memakan kudapan diantara jam makan, akibatnya tubuh masih berkecukupan dengan nutrisi yang berasal dari kudapan tersebut, sehingga anak tidak merasa lapar
Perkembangan ego sang anak; anak menolak makan sebagai manifestasi dari perkembangan sikap mandiri. Anak merasa sebagai individu yang terpisah dari orangtua, sehingga menolak bentuk dominasi orangtua
Anak ingin mencoba kemampuan yang baru dimilikinya yaitu mencoba makan sendiri tetapi orangtua melarangnya melakukan hal tersebut
Menu tidak bervariasi sehingga anak merasa bosan dengan makanan yang terhidang atau bentuk makanan tidak menarik
Anak sedang merasa tidak bahagia, sedih, depressi atau merasa tidak aman/nyaman
Anak sedang sakit

Sementara itu, bentuk penolakan yang dilakukan anak dapat berupa:

Memuntahkan makanan
Makan berlama-lama dan memainkan makanan. Pada tahapan usia 9 bulan-2,5 tahun memang masih merupakan suatu hal yang wajar jika anak makan berlama-lama karena ia belum mengenal konsep waktu. Namun jika anak telah berumur lebih dari usia tersebut, tetapi masih makan berlama-lama dan memainkan makanannya maka hal tersebut tidak lagi dapat disebut wajar/normal tetapi merupakan suatu cara anak untuk menarik perhatian dan menentang dominasi orangtua.
Sama sekali tidak mau makan
Menumpahkan makanan
Menepis suapan dari orangtua


Tindakan Keliru yang Seringkali Dilakukan Orangtua

Beberapa tindakan yang sebenarnya keliru yang seringkali dilakukan orangtua dalam menghadapi situasi diatas misalnya:

Membujuk. Misalnya dengan kata-kata: "makan sayur bayamnya ya, biar kuat seperti popeye", "kalau makannya habis nanti mama bilang sama papa kalau anak mama dan papa pintar loh", dll.

Mengalihkan perhatian, misalnya: anak disuapi makan sambil menonton film atau sambil bermain-main

Memberi janji, misalnya: "kalau makannya habis, nanti mama belikan ice cream"

Mengancam, misalnya: kalau makannya tidak habis, nanti kalau ke dokter disuntik loh"

Memaksa, misalnya anak dipaksa membuka mulut lalu dijejali makanan

Menghukum, misalnya anak yang tidak mau makan langsung dipukul atau diperintahkan masuk kamar

Membolehkan anak untuk memilih menu makanan yang diingininya. Dalam hal ini orangtua biasanya akan langsung mengganti menu jika anak mengatakan bahwa ia tidak menyukai menu yang dihidangkan.

Tindakan yang Sebaiknya Dilakukan Orangtua

Dengan mengetahui bahwa nafsu makan anak digerakkan oleh jumlah makanan yang dibutuhkan tubuh, orangtua seharusnya menjaga nafsu makan anak dan memastikan bahwa anak mendapatkan kebutuhan tubuhnya. Para ahli psikologi anak sama sekali tidak menyarankan anak dipaksa untuk makan apapun penyebabnya, karena semakin dipaksa anak akan semakin memberontak.

Lalu apa tindakan yang sebaiknya dilakukan oleh orangtua untuk membuat anak mau makan dan tidak kekurangan sumber energi yang dibutuhkan tubuhnya? Berikut ini beberapa saran yang dapat anda lakukan jika menghadapi anak yang sulit makan:

Kurangi kudapan atau tidak memberikan kudapan sama sekali di antara jam makan.
Termasuk di sini adalah pemberian susu kepada anak. Bagi anak yang memiliki nafsu makan sangat baik, pemberian kudapan maupun susu diantara jam makan masih diperbolehkan, tetapi harus dilakukan dengan jadwal tetap dan dosistepat sehingga tidak terjadi obesitas.

Menghidangkan menu yang bervariasi.
Sama seperti orang dewasa, jika hampir setiap hari diberikan menu yang sama, maka anak akan bosan (meskipun menu yang diberikan merupakan menu favorit anak tersebut). Oleh karena itu, orangtua harus jeli dan pintar untuk memberikan menu yang bervariasi kepada anak. Misalnya: jika anak sudah sering diberi ikan cobalah mengganti ikan dengan ayam atau daging atau dapat pula diganti cara memasaknya.

Mempercantik tampilan makanan.
Contohnya, dalam sebuah iklan di TV, ada orangtua yang menghidangkan nasi goreng dengan diberi gambar wajah, mata yang terbuat dari tomat, bibir dari sosis, dan hidung dari ketimun. Penampilan nasi goreng yang seperti ini akan lebih menarik perhatian bagi anak daripada nasi goreng yang terhidang begitu saja di piring tanpa hiasan.

Saat anak sedang merasa sedih, cobalah untuk terlebih dahulu membuat perasaan anak lebih baik dengan menunjukkan kasih sayang dan mencoba mengerti penyebab mengapa anak merasa sedih. Contoh: anak sedih karena kematian anjing yang disayanginya, maka bisa dihibur dengan mengatakan bahwa "anjingnya sekarang sudah sembuh, tidak akan pernah sakit lagi di tempat yang baru".

Biarkan anak makan sendiri.
Jangan takut dengan kekotoran yang disebabkan anak makan sendiri, karena yang penting di sini adalah anak merasa mampu, dipercaya oleh orangtua, semakin mandiri dan kemampuan motoriknya juga akan terlatih dan berkembang baik.

Jangan memburu-buru anak agar makan dengan cepat.
Anak yang makannya berlama-lama, tidak perlu diburu-buru. Jika semua sudah selesai makan, meja sudah dibersihkan dan anak masih bermain dengan makanannya, maka sebaiknya makanannya disingkirkan. Anak mungkin akan merasa marah, jika hal ini terjadi orangtua tidak perlu berdebat ataupun memarahi anak, berikan perpanjangan waktu yang cukup, jika perpanjangan waktu sudah selesai maka makanan benar-benar ditarik dan tidak diberikan perpanjangan waktu lagi. Dengan demikian anak akan mengerti ada waktu untuk makan.

Tidak perlu setiap kali mengikuti keinginan anak dengan mengganti menu sesuai keinginanya,
karena mungkin saja ketidaksukaannya disebabkan keinginan menentang dominasi orangtua. Sebaiknya tanamkan kesadaran pada anak bahwa makan adalah tugasnya, dengan tidak memuji jika makanan dihabiskan, dan juga tidak memarahi, mengancam, membujuk, menghukum, atau memberi label anak sebagai anak nakal jika makanannya tidak dihabiskan/tidak mau makan.

Jika anak tidak mau makan dan si anak berada dalam keadaan sehat, tidak apa-apa, singkirkan saja makanan dari meja makan, dan anak tidak perlu diberikan kudapan apapun di antara waktu makan utamanya. Dengan demikian, ketika tiba waktu makan selanjutnya anak akan merasa lapar (bukan kelaparan) dan ia pasti akan makan apapun yang dihidangkan.

Tidak perlu memberikan porsi yang banyak kepada anak, sehingga sulit dihabiskan. Lebih baik memberikan porsi yang sedang, jika anak merasa kurang, ia boleh minta tambah.

Berikan makanan secara bertahap sesuai jenis dan kandungan gizi satu persatu, mulai dari yang mengandung banyak zat besi dan protein (misalnya daging), sampai terakhir jenis yang kurang penting (misalnya puding sebagai penutup mulut). Jika anak merasa sudah kenyang sebelum sampai pada makanan tahap berikutnya, orangtua tidak perlu lagi memaksa anak untuk makan

Reaksi orangtua akan menentukan arah dan proses pembelajaran anak terhadap berbagai hal sampai mereka menemukan kesadaran dan tanggungjawab secara internal. Jika reaksi orangtua menguatkan perilaku sulit makan, maka yang terjadi kemudian adalah anak menjadi sulit makan. sebaliknya jika reaksi orangtua menguatkan perilaku mudah makan, maka anak mudah makan. Satu hal yang sebaiknya diingat orangtua adalah tidak mudah untuk selalu merespon perilaku anak secara tepat. Tulisan ini mungkin dapat menjadi suatu informasi yang berguna bagi anda para orangtua yang peduli terhadap kesejahteraan anaknya.
Selamat mencoba.

Sumber : e- Psikologi Anak

Ketika Anak menonton Televisi

Oleh Martina Rini S. Tasmin, SPsi.


Pikiran Orangtua:

Malu, mau marah dan jantung rasanya mau copot ketika tiba-tiba mendengar Edu berteriak "bajingan kau!!!". Entah belajar darimana, tapi rasanya kok sebagai orangtua tidak pernah mengatakan hal-hal kasar seperti itu, pembantu di rumah juga tidak ada yang bicara seperti itu, Wah jangan-jangan dari anak tetangga sebelah rumah. Aaaaaah ternyata Edu mendengarnya di televisi. Di televisi? Bukankah program tayangan Teletubbies kesayangan Edu tidak ada bahasa kasar seperti itu? Ooooooh ternyata Edu juga suka menonton telenovela bersama nenek. Aduh.... kan tidak mungkin melarang nenek menonton telenovela, jadi yang perlu dipikirkan sekarang adalah bagaimana caranya supaya Edu tidak ikutan menonton telenovela bersama nenek dan hanya menonton acara anak-anak saja.



Pikiran Anak:

Aduh, Mama/Papa marah nih, gara-gara Edu tadi bilang "bajingan kau!!!". Padahal kan Edu lihat ada om jagoan ganteng di televisi bilang begitu, Edu cuman meniru saja kok. Memangnya "bajingan kau" itu apa sih? Kata mama, itu kata-kata kasar, memangnya kata-kata kasar itu apa sih? Edu kan ingin seperti om jagoan ganteng di televisi itu, banyak yang suka, banyak yang sayang, nenek dan mbak saja tiap hari harus lihat om itu, mama juga kalau di rumah lihat om itu. Tapi, Edu jadi bingung sama Mama dan Papa, kalau Edu hafal cerita-cerita film yang ada di televisi, Mama dan Papa bangga. Mama dan Papa sering bilang sama om dan tante Edu: "wah Edu pintar loh, dia bisa hafal semua cerita-cerita film televisi". Kalau Edu hafal iklan-iklan di televisi Mama dan Papa juga bangga, katanya Edu pintar, terus kalau Edu lagi menirukan iklan televisi katanya Edu lucu dan menggemaskan. Tapi kalau Edu nonton televisi terus-terusan, Mama dan Papa marah, katanya Edu malas. Padahal kalau nggak nonton kan nggak bisa hafal film dan iklan yang di televisi. Aduuuuuuh Edu jadi bingung.



Sebagai orangtua, pernahkah anda mengalami situasi seperti di atas? Kadang-kadang marah karena anak menirukan adegan di televisi, tetapi seringkali juga memuji dan bangga kalau anak hafal dengan cerita-cerita atau iklan-iklan yang ada di televisi. Kalau dilihat sepintas sepertinya ada standard ganda di sini, walaupun sebenarnya tidak. Sebagai orangtua kita sudah tahu dengan pasti mana yang pantas dan mana yang tidak, mana yang baik dan mana yang buruk, sehingga kita bisa menetapkan mana program yang boleh ditonton dan ditiru dan mana yang tidak. Orangtua juga tahu kapan menonton televisi, kapan waktu belajar. Tetapi apakah anak sudah tahu dengan pasti mengenai hal baik dan buruk tersebut, apakah anak sudah mengetahui program televisi mana saja yang diperbolehkan untuk ditonton dan apakah anak sudah menyadari benar-benar mengenai pembagian waktu? Anak mungkin bingung dan tidak mengerti, ditambah lagi kalau standard yang ditetapkan oleh orangtua berbeda dengan yang ditetapkan oleh pengasuh (termasuk dalam pengasuh adalah suster, kakek-nenek dan om-tante yang ikut serta dalam pengasuhan sehari-hari). Nah, pertanyaan kita kemudian adalah bagaimana orangtua menyikapi anak dalam menonton televisi?

Darimana Anak Meniru Adegan Kekerasan ?

Televisi, si kotak ajaib yang keberadaanya sudah menjadi bagian dalam kehidupan sehari-hari, seringkali menimbulkan kecemasan bagi orangtua yang anaknya masih kecil. Cemas kalau anak jadi malas belajar karena kebanyakan nonton televisi, cemas kalau anak meniru kata-kata dan adegan-adegan tertentu, cemas mata anak jadi rusak (minus), dan cemas anak menjadi lebih agresif karena terpengaruh banyaknya adegan kekerasan di televisi. Namun demikian harus diakui bahwa kebutuhan untuk mendapatkan hiburan, pengetahuan dan informasi secara mudah melalui televisi juga tidak dapat dihindarkan. Televisi, selain selalu tersedia dan amat mudah diakses, juga menyuguhkan banyak sekali pilihan, ada sederet acara dari tiap stasiun televisi, tinggal bagaimana pemirsa memilih acara yang dibutuhkan, disukai dan sesuai dengan selera. Sehingga walaupun semua orang mungkin sudah tahu akan dampak negatif yang bisa ditimbulkannya, keberadaan televisi tetap saja dipertahankan.

Kecemasan orangtua terhadap dampak menonton televisi bagi anak-anak memang sangat beralasan, mengingat bahwa banyak penelitian menunjukkan televisi memang memiliki banyak pengaruh baik negatif maupun positif. Misalnya penelitian yang dilakukan Liebert dan Baron, menunjukkan hasil: anak yang menonton program televisi yang menampilkan adegan kekerasan memiliki keinginan lebih untuk berbuat kekerasan terhadap anak lain, dibandingkan dengan anak yang menonton program netral (tidak mengandung unsur kekerasan).

Dalam benak banyak orang dewasa, film-film kartun dan film-film robot dianggap merupakan film anak-anak dan cocok dikonsumsi oleh mereka karena format penyajiannya disesuaikan dengan perkembangan anak-anak. Benarkah demikian? Jawabnya tidak semua film-film tersebut cocok dikonsumsi anak-anak. Contohnya Bart Simpson dan Crayon Sinchan yang cukup populer di Indonesia, sebenarnya tidak cocok untuk anak-anak, karena bercerita dalam bahasa yang kasar dan tingkah laku urakan. Tetapi diawal kemunculannya, orangtua membiarkan kedua film tersebut ditonton oleh anak-anak karena format penyajian dan jam tayangnya yang pas dengan waktu anak menonton televisi. Setelah berjalan beberapa lama barulah orangtua menyadari kalau tontonan tersebut tidak cocok dan ramai-ramai mengajukan protes kepada stasiun televisi. Akhirnya kemudian film tersebut diberi keterangan bukan untuk konsumsi anak-anak.

Kalau mau lebih teliti, sebenarnya banyak film "anak-anak" yang justru menampilkan adegan kekerasan dan kata-kata yang kasar (meski tidak sekasar film dewasa sih), walaupun banyak juga terdapat adegan-adegan kebaikan (karena biasanya film-film tersebut bercerita tentang pertentangan antara kebaikan dan kejahatan). Contoh film-film yang memiliki kedua unsur tersebut adalah film Popeye the Sailor Man, Batman & Robin, Power Puff Girls, Power Ranger dan Saras 008. Film-film ini sangat populer di dalam dunia anak-anak kita sehingga seringkali menjadi model yang ditiru oleh anak-anak. Meskipun mengandung adegan kekerasan, namun film-film ini sepertinya tidak menimbulkan kecemasan bagi orangtua, karena para orangtua sampai sekarang merasa aman meninggalkan anak-anak ketika menonton film-film ini. Sementara itu kalau ada film dewasa, baik yang menampilkan adegan kekerasan maupun tidak, anak-anak seringkali tidak diperbolehkan menonton. Hal ini sudah menunjukkan standard ganda yang diberikan orangtua kepada anak. Adegan kekerasan dalam film dewasa tidak boleh ditonton, tetapi adegan kekerasan dalam film anak-anak boleh ditonton, jadi kekerasan boleh atau tidak? Lalu apakah tidak ada kemungkinan bahwa anak justru dapat juga meniru adegan kekerasan atau kata-kata kasar yang ada dalam film-film tersebut karena mereka melihat bahwa orangtua membiarkan mereka menonton film tersebut dengan bebas?

Apa yang Sebaiknya Dilakukan Orangtua ?

Mengingat bahwa sangatlah sulit (bahkan tidak mungkin) bagi orangtua untuk menjauhkan anak dari televisi, maka ada baiknya orangtua melakukan beberapa hal sebagai berikut:

Dampingi anak ketika menonton dan beri penjelasan

Sebenarnya daripada orangtua tiba-tiba mengomel ataupun memuji anak, hal pertama yang sebaiknya dilakukan adalah memberi pengertian dan mendampingi anak ketika menonton televisi. Jika anak bertanya jawablah pertanyaan tersebut dengan rinci dan sesuai dengan perkembangan anak. Banyak hal yang belum diketahui oleh seorang anak, oleh karena itu kalau tidak ada yang memberi tahu ia akan mencari sendiri dengan mencoba-coba dan meniru dari orang dewasa. Apakah hasil percobaan maupun peniruannya benar atau salah, anak mungkin tidak tahu. Di sinilah tugas orangtua untuk selalu memberi pengertian kepada anak, secara konsisten. Kebingungan anak karena standar ganda yang diterapkan orangtua juga bisa teratasi kalau orangtua memberi penjelasan kepada anak.

Buat jadwal kegiatan anak

Anak juga perlu diajarkan bahwa ada waktu tersendiri untuk setiap kegiatan-kegiatannya. Atur waktu yang jelas, kapan menonton televisi, kapan belajar dan kapan bermain. Walaupun anak sudah relaks dengan menonton televisi, anak tetap butuh waktu untuk bermain. Televisi mengkondisikan anak menjadi pasif, hanya menerima dan menyerap informasi dengan posisi tubuh yang juga pasif (cukup dengan duduk), karena itu anak tetap perlu waktu untuk bermain (terutama bermain dengan anak-anak lain) supaya mereka tetap aktif dan mampu bersosialisasi. Mereka tetap butuh waktu untuk berlari-larian, mengobrol dengan teman-teman dan bermain dengan mainan. Pengaturan waktu bisa mengkondisikan anak untuk selalu menonton televisi dengan didampingi orangtua.

Seleksi program tayangan televisi yang cocok untuk anak

Kalaupun tidak sempat mendampingi anak, orangtua sebaiknya menyeleksi program televisi mana yang benar-benar cocok untuk anak. Sebelum anak diijinkan untuk menonton program televisi tertentu, orangtua sudah mengetahui program tersebut cocok atau tidak untuk anak, jadi orangtua sudah pernah terlebih dulu menonton program tersebut dan melakukan evaluasi. Jangan sampai terjadi lagi kasus Crayon Sinchan. Untuk melakukan hal ini tentu saja dibutuhkan kesabaran dan pengorbanan dari orangtua, untuk sementara orangtua harus mengorbankan kesenangannya sendiri menonton televisi demi mencari-cari dan menyeleksi program televisi yang cocok untuk anak tercinta.

Bangun kerjasama dengan seluruh anggota keluarga

Bangunlah kerjasama dengan seluruh anggota keluarga, karena kerja sama dari seluruh anggota keluarga (termasuk pengasuh) sangat diperlukan. Pastikan bahwa seluruh keluarga memiliki pengertian yang sama mengenai anak dan masalah televisi tersebut. Berikan pengertian kepada anggota keluarga bahwa bagaimanapun juga mereka kadang-kadang harus mengorbankan kesenangan mereka demi kebaikan sang anak. Jangan sampai standard yang sudah diterapkan orangtua terhadap anak, ternyata tidak diterapkan oleh anggota keluarga lainnya ketika orangtua tidak ada ditempat.

Konsisten dalam bertindak

Orangtua dan pengasuh perlu untuk selalu bertindak secara konsisten dan tidak bosan-bosannya dalam memberikan pengertian kepada anak, sehingga anak tahu dengan jelas mana yang boleh mana yang tidak, mana yang baik dan mana yang buruk. Oke.....semoga bermanfaat

Sumber : e-Psikologi anak